Para pembuat undang-undang (UU), baik di Dewan Perwakilan Rakyat maupun pemerintah, jika ingin membuat sebuah UU harus ada dasar filosofi yang jelas. Sebab hasil produk yang berupa UU dinilai baik apabila sejak awal bisa diprediksi UU tersebut menguntungkan semua pihak, dan tidak mengandung konflik kepentingan dalam proses pembuatannya.
Demikian penuturan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki saat menjadi narasumber dalam program Pilar Demokrasi yang bertajuk “Menyusun UU Pro Rakyat” di KBR68H dan TempoTV, Jakarta, Senin (26/11) malam. “Filosofi (membuat UU) dasarnya harus dipegang,” ucap Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang ini.
Sodiki juga menambahkan bahwa apabila ada masyarakat baik perorangan maupun kelompok yang merasa UU tersebut mengandung unsur kepentingan atau tidak memihak kepada masyarakat bisa mengajukan ke MK. Nanti dengan konstitusi, produk tersebut akan dibatalkan atau bertentangan dengan UUD 1946. “UU itu sering mengandung konflik kepentingan, oleh Mahkamah dibatalkan,” ujar Sodiki. Dalam program yang disiarkan langsung melalui radio ke semua pelosok daerah di Indonesia tersebut, Sodiki juga menguraikan terkait dengan seluk-beluk mengapa ketentuan yang tertuang dalam UU tersebut dibatalkan oleh MK. Menurutnya, Mahkamah membatalkan pasal-pasal yang tercantum dalam UU sesuai dalam bidangnya. Semisal pada bidang politik, kata dia, dahulu UU Pemilu Legislatif mengatur bahwa keterpilihan menjadi anggota legislatif harus berdasarkan nomor urut.
Namun setelah ada permohonan ke MK, ujar Sodiki, ketentuan menjadi anggota legislatif berdasarkan nomor urut tersebut dibatalkan, dan berubah menjadi suara terbanyak. “UU aslinya berdasarkan nomor urut, tetapi menurut Mahkamah mempunyai suara yang paling besar dari mereka yang dicalonkan,” terangnya.
Kedaulatan Rakyat
Dalam keputusan tersebut, lanjut Sodiki, Mahkamah mencoba untuk mengapresiasi kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan berada pada pimpinan partai politik. “Ini berarti Mahkamah mencoba untuk mengapresiasi kedaulatan rakyat,” jelasnya. “Jadi yang dikehendaki paling besar adalah paling dimenangkan dalam pencalonan menjadi anggota legislatif,” ucap Sodiki lagi.
Demikian juga dengan UU Ketenagakerjaan. Sodiki mengatakan bahwa ketentuan outsourcing yang diterapkan di Indonesia menjadikan para pekerja nasibnya atau hak untuk hidup tidak pasti. “Oleh karena itu, Mahkamah berfikir bahwa persoalan ini menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap masyarakat. Dalam arti tidak ada jaminan adanya hak-hak hidup para pekerja,” terangnya.
Lebih lanjut, kata dia, putusan Mahkamah juga menegaskan bahwa “pekerjaan kalau terus-menerus ada jangan di-outsourcing-kan, tetapi harus menjadi pekerjaan yang tetap. “Sebaliknya, kalau perkejaan itu terbatas waktunya, yah boleh di-outsourcing-kan.” Ucap Wakil Ketua MK ini.
Narasumber lain juga hadir dalam acara talk show tersebut. Mereka adalah Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Anna Muawanah, dan Peneliti Senior Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) I Made Leo Wiratma. Dalam penuturan yang disampaikan oleh Anna, Hasil UU yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah tidak hanya memanggil seluruh stakeholder (pihak terkait) tetapi juga menggundang akademisi.
Menanggapi pertanyaan mengapa UU yang telah dibuat sering digugat ke MK, Anna mengatakan bahwa membuat sebuah kebijakan pasti ada sesuatu yang harus diluruskan, dan tidak menutup kemungkinan ada yang dirugikan. Padahal, banyak UU yang sudah bertahun-tahun dibahas oleh pemerintah dan DPR belum selesai karena belum ada kata sepakat. (Shohibul Umam/mh)