Sebuah putusan pemidanaan tanpa memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan tidak menjadikan sebuah putusan pemidanaan batal demi hukum. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memaknai Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertentangan dengan UUD 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Pasal 197 ayat (1) huruf “k” sendiri menyatakan surat putusan pemidanaan harus memuat antara lain mengenai perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Sedangkan ayat (2) KUHAP menentukan jika tidak dipenuhi ketentuan tersebut maka mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Demikian inti bunyi sebagian putusan Nomor 69/PUU-X/2012 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Kamis (22/11). Namun, dalam amar putusan MK ini menolak permohonan yang diajukan pemohon H. Parlin Riduansyah.
“Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum. Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum,” jelas Mahfud di Ruang Sidang Pleno MK saat membacakan amar putusan ini.
Selain itu, MK juga menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya menjadi, ‘Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum’,”
Menurut Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya, Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP secara formal merupakan ketentuan yang bersifat imperative atau mandatory kepada pengadilan, dalam hal ini hakim yang mengadili, yang manakala pengadilan atau hakim tidak mencantumkannya dalam putusan yang dibuatnya, maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Meskipun demikian, menurut Mahkamah, secara materiil-substantif kualifikasi imperative atau mandatory-nya seluruh ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat, terlebih lagi manakala membacanya dikaitkan dengan pasal-pasal lain sebagai satu kesatuan sistem pengaturan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 197 ayat (2) bahwa, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”, namun dalam Penjelasannya dinyatakan, “Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.”
“Dengan demikian maka, apabila suatu putusan pemidanaan tidak mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf g dan huruf i karena tidak disebutkan dalam Pasal 197 ayat (2), serta terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan materi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) yang mengecualikan huruf a, e, f, dan h, maka tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Oleh karenanya, secara materiil-substantif kualifikasi imperative atau mandatory dari keseluruhan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) a quo tidaklah dapat dikatakan sama atau setingkat,” urai salah satu hakim konstitusi.
Selain itu, Majelis Hakim Konstitusi menjelaskan dalam suatu amar putusan pidana tetap perlu ada suatu pernyataan bahwa terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan materi amar putusan lainnya yang telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pidana, namun ada atau tidak adanya pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusannya. Menimbang bahwa sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP adalah benar bahwa putusan yang dinyatakan batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) sehingga tidak mempunyai kekuatan apapun (legally null and void, nietigheid van rechtswege).
Namun demikian harus dipahami bahwa suatu putusan pengadilan haruslah dianggap benar dan sah menurut hukum dan oleh karenanya mengikat secara hukum pula terhadap pihak yang dimaksud oleh putusan tersebut sebelum ada putusan pengadilan lain yang menyatakan kebatalan putusan tersebut. Terlebih lagi manakala terjadi sengketa terhadap adanya kebatalan mengenai putusan, sesuai dengan arti positif dari mengikatnya suatu putusan hakim (res judicata pro veritate habetur). Terkait dengan uraian tersebut maka hal yang telah pasti adalah putusan tersebut sah dan mengikat. Adanya kebatalan mengenai putusan yang meskipun didasarkan pada sesuatu norma yang menurut Pemohon cukup terang benderang, namun secara hukum harus dianggap tidak demikian, karena untuk kebatalannya masih diperlukan suatu putusan. Sesuatu yang tidak atau belum jelas tidak dapat menggugurkan eksistensi sesuatu yang telah jelas. Dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia, prinsip negara hukum memberi peluang untuk melakukan upaya hukum berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan hingga melakukan pengawasan dan pengamatan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
“Berdasarkan pertimbangan hukum di atas dan untuk menjamin adanya kepastian hukum yang adil [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] serta untuk menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewajibannya yang berpotensi memunculkan ancaman ketakutan bagi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, menurut Mahkamah, dalil-dalil permohonan Pemohon terkait Pasal 197 ayat (1) huruf k juncto Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981 tidak beralasan menurut hukum. Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum sepanjang permohonan penafsiran seperti yang dimohonkan, padahal ketentuan Pasal 197 ayat (2) huruf “k” tersebut memang tidak sejalan dengan upaya pemenuhan kebenaran materiil dalam penegakan hukum pidana maka demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah memberikan makna bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf “k” tersebut bertentangan dengan UUD 1945 apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 mengakibatkan putusan batal demi hukum,” urai salah satu hakim konstitusi.
Dissenting Opinion
Dalam putusan tersebut, dua hakim konstitusi menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Hamdan Zoelva. Menurut Akil, efektifitas peradilan pidana bergantung pada tiga faktor yang saling berkaitan yaitu 1) adanya undang-undang yang baik; 2) pelaksanaan yang cepat dan pasti; 3) pemidanaan yang layak dan seragam. Dengan demikian, adalah wajar bilamana konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa tidak dicantumkannya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k dapat mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Konsekuensi ini adalah demi mencegah terjadinya kesewenang-wenangan bagi terdakwa/terpidana yang berada dalam penahanan. Maka dari itu, persyaratan yang diatur pada Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP bersifat mutlak harus ada.
Selain itu, Akil berpendapat putusan pengadilan merupakan mahkota yang menunjukkan citra dan wibawa sebuah peradilan. Oleh karena itu, keteledoran atau ketidakcermatan dari Hakim atau Majelis Hakim harus diminimalisir dengan tidak diberikan ruang toleransi yang besar meskipun dengan alasan sifat manusia yang penuh khilaf dan tidak luput dari kesalahan. Bila memberikan ruang toleransi yang besar atas ketidakcermatan terhadap kesalahan dalam putusan pengadilan maka membuka kemungkinan besar atas terjadinya kesewenang-wenangan dan penyimpangan oleh hakim pengadilan. Penerapan sistem pengawasan dan mekanisme kontrol yang ketat atas penulisan dan pemuatan putusan peradilan sangat dibutuhkan demi menciptakan peradilan yang terpercaya dan berwibawa.
“Oleh karena itu demi mencegah adanya ketidakadilan, terutama terhadap status hukum pencari keadilan, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan pemohon dengan menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 merupakan persyaratan mutlak yang harus ada dalam isi surat putusan pemidanaan dan tidak dicantumkannya persyaratan tersebut dalam surat putusan mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum,” jelasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mengungkapkan putusan pidana pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi harus mencantumkan perintah terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan dengan ancaman batal demi hukum. Hal itu, untuk menghindari keteledoran atau kesewenang-wenangan pengadilan atau jaksa untuk menahan, atau tetap menahan atau membebaskan terdakwa yang belum mendapatkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada jaminan kepastian hukum atas hak-hak terdakwa. Jika tidak ada kewajiban imperative yang demikian, akan berpotensi mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak-hak terdakwa karena tidak ada kepastian, apakah terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan sampai adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Hal itu, dapat menjadi mainan dan disalahgunakan oleh aparat penegak hukum yang tidak jujur.
“Oleh karena itu saya berpendapat permohonan Pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian. Mahkamah tidak perlu menambahkan atau memaknai lagi Pasal 197 ayat (2) huruf k UU 8/1981 karena jelas dalam uraian pertimbangan Mahkamah bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf k adalah tidak bersifat imperative sehingga permohonan Pemohon ditolak. Jika Mahkamah memberi makna lain dari Pasal 197 ayat (2) huruf k UU 8/1981, maka hal itu, melampaui kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sesuatu yang di luar bahkan sama sekali bertentangan dengan permohonan Pemohon,” tandas Hamdan. (Lulu Anjarsari/Miftakhul Huda)