Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Peningkatan Koordinasi Pemilu yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI, Rabu (21/11) di Hotel Sari Pan Pacific. FGD ini mengangkat tema “Penyempurnaan Regulasi dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pemilu dan Pemilukada”.
Selain Fadlil, hadir sebagai pembicara: Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia R. Siti Zuhro dan Sekretaris Ditjen Otonomi Daerah Susilo. Sedangkan sebagai Penanggap, hadir Komisioner Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman dan Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Valina Singka Subekti. Tampak pula mantan komisioner KPU Mulyana W. Kusumah. Di samping itu, FGD ini juga diikuti oleh berbagai unsur, yakni dari: Kemenko Polhukam, Kemendagri, Kemenkumham, BIN, BAIS TNI dsb.
Pada kesempatan tersebut, Fadlil memaparkan tentang beberapa problematika yang muncul selama MK melaksanakan kewenangannya mengadili sengketa pemilu dan pemilukada. Diantaranya terkait: legal standing Pemohon, putusan MK, serta menanggapi berbagai wacana yang muncul akhir-akhir ini.
Menurut Fadlil, pencideraan atas hak konstitusional warga negara dan prinsip-prinsip konstitusional dalam penyelenggaraan pemilu merupakan pangkal munculnya problematika yang dihadapi oleh MK dalam mengadili perselisihan hasil pemilu. Faktanya, pada beberapa putusannya, MK telah melahirkan yurisprudensi yang menjadi rujukan dalam pertimbangan hukum untuk memutuskan sengketa pemilu, khususnya pemilukada.
Salah satunya, kata Fadlil, dulu MK hanya berwenang untuk mengadili hasil rekapitulasi saja. Namun, dalam perkembangannya, MK merasa perlu untuk mempertimbangkan pula pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama proses pemilukada yang signifikan mempengaruhi hasil akhir dalam menentukan pemenang. Karena, jika hanya mengadili persoalan hitung-hitungan atau kalkulasi perolehan suara saja, dengan menutup mata pada pelanggaran hukum yang terjadi selama Pemilukada, maka keberadaan MK sebagai penjaga konstitusi dan hak konstitusional warga negara menjadi tidak optimal dan maksimal.
“Kalau (pertimbangan MK sebatas, pen) itu saja, maka putusan MK tidak bermakna apa-apa,” tegas Fadlil. “Pelanggaran-pelanggaran tersebut terkait dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilukada dan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih.”
Hingga pada akhirnya, dengan menafsirkan ketentuan konstitusional yang menyatakan “memutus hasil pemilihan umum”, demi tegaknya hak dan prinsip konstitusional maka MK menetapkan bahwa objek sengketa pemilukada juga meliputi proses, bukan hanya penghitungan suara saja.
Selain itu, ada pula pelanggaran yang terjadi bahkan sebelum pemungutan suara digelar, yakni pada tahap pencalonan. Pada tahap ini, menurut Fadlil, terjadi pengingkaran atas hak untuk dipilih (rights to be candidate). Padahal, hak ini merupakan hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karenanya, melalui putusannya MK membuka pintu legal standing bagi bakal pasangan calon untuk menjadi pemohon dalam perkara PHPU Kepala Daerah. Sebelumnya, hanya pasangan calon saja yang memiliki hak untuk mengajukan permohonan PHPU Kada ke MK.
Setelah Fadlil dan para narasumber lainnya menyampaikan pokok-pokok pikirannya, acara pun beranjak pada sesi tanggapan. Saat itu, muncul beberapa wacana terkait perbaikan pelaksanaan pemilu dan pemilukada di Indonesia, antara lain: tentang kepastian hukum dan sinergitas lembaga peradilan khususnya dalam menangani sengketa pemilu, pelaksanaan pemilukada serentak, pemilihan gubernur tidak langsung, dan paket undang-undang politik.
Fadlil kemudian memberikan tanggapan atas berbagai wacana tersebut. Menurutnya, pengertian pemilukada serentak, mesti disepakati dan ditegaskan terlebih dahulu. Apakah serentak per provinsi, secara nasional, atau seperti apa. “Ini soal yang tidak mudah,” ungkapnya. “Karena jika (persoalan itu, pen) tidak selesai, maka akan tidak karu-karuan,”ingatnya. Dia juga menilai sistem penyelesaian sengketa pemilukada yang berjenjang kadang tidak berjalan dengan baik. Oleh karenanya, persoalan ini juga perlu pengkajian lebih mendalam, sehingga melahirkan sistem yang mewujudkan pemilu dan pemilukada demokratis dan sesuai dengan nilai-nilai konstitusi. (Dodi/mh)