Hakim Konstitusi Anwar Usman mewakili Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memenuhi undangan yang disampaikan Mahkamah Agung Meksiko dalam rangka The First Summit of Presidents of High Regional and International Courts. Dalam kesempatan ini, Anwar Usman, menyampaiakan makalahnya yang berjudul “Penegakan Konstitusi dan Pembenahan Sistem Hukum untuk Mewujudkan Pembangunan Indonesia yang Bermartabat”.
Acara yang dihadiri oleh 24 negara dari 4 benua (Asia, Afrika, Eropa, Amerika), Komisi HAM PBB, Mahkamah Internasional, Pengadilan Regional Afrika, Pengadilan Regional Amerika, Pengadilan Regional Eropa, membahas lima topik utama selama dua hari berturut-turut sejak 8-9 November 2012. Kelima topik utama dalam acara tersebut yaitu: Interpretasi Konstitusi oleh Cabang-Cabang Kekuasaan Negara Selain Yudikatif, Kedudukan Hakim di Tingkat Nasional di Tengah Upaya Perlindungan Internasional HAM, Dialog Antar Pengadilan Internasional dan Pengadilan Nasional; Akses Terhadap Pengadilan dan Transparansi Dunia Peradilan Sebagai Faktor Legitimasi Nasional dan Internasional, dan Perlindungan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya bagi Kelompok Rentan.
Dalam pembahasan selama dua hari tersebut, wacana yang kerap mengemuka mengenai terjadinya disparitas penegakan hukum antara hukum internasional, regional, dan nasional. Perwakilan Komisi HAM PBB untuk Meksiko, Javier Esteban Hernandez Valencia, mengatakan bahwa seharusnya pengadilan di tingkat regional dapat menjadi jembatan penegakan hukum antara hukum internasional dan hukum nasional. Terjadinya disharmoni antara hukum internasional dan nasional akan memberikan dampak negatif bagi hubungan antarnegara, bahkan tidak tertutup kemungkinan hal tersebut dapat menimbulkan konflik antar negara. Menurut Javier Esteban, pengadilan di tingkat nasional kerap kali melakukan constitutional block terhadap penegakan hukum di tingkat regional dan internasional. Dengan berlindung dibalik argumentasi bahwa setiap negara memiliki yurisdiksi dan konstitusi yang menjadi kesepakatan tertinggi negara, maka hukum di tingkat regional maupun internasional kerap diabaikan.
Pada sisi yang bertentangan, beberapa delegasi malah mempertanyakan putusan pengadilan di tingkat regional yang kerap bertentangan dengan norma konstitusi negaranya. Zuhtu Arslan, Hakim Konstitusi Turki, mempertanyakan tentang Putusan Pengadilan HAM Eropa yang memerintahkan penghapusan hukuman mati. Menurutnya, merupakan hak sebuah negara yang berdaulat untuk menentukan jenis hukuman apa yang dapat diterapkan negaranya. Begitu pula halnya tentang putusan Pengadilan Eropa yang melarang penggunaan simbol agama di tempat umum (termasuk jilbab). Ia menambahkan, bahwa putusan tersebut justru telah melanggar HAM khususnya dalam melaksanakan keyakinan dan kepercayaan yang menjadi hak dasar bagi manusia sebagaimana telah dijamin dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia.
Acara ini diakhiri dengan pembacaan deklarasi yang memuat himbauan bahwa pengadilan di masing-masing negara hendaknya mengembangkan yurisprudensi bagi peningkatan upaya penegakan HAM. Selain itu juga membangun mekanisme perlindungan terhadap kelompok rentan yang kerap terabaikan hak asasinya dan berupaya melakukan harmonisasi terhadap hukum internasional, regional, dan nasional, sehingga dapat tercipta kesepahaman yang sama akan kriteria penegakan HAM di antara negara-negara. (Nallom Kurniawan/mh)