Reformasi dalam penegakan hukum saat ini belum dilakukan secara tuntas. Masih banyak hal yang harus dibenahi dengan memerlukan perhatian dari kita bersama. Masih dibutuhkan banyaknya kaum intelektual hukum yang memiliki integritas tinggi guna mengawal negeri dan bangsa Indonesia agar tetap berdiri kokoh sebagai negara hukum yang demokratis.
Hal demikian disampaikan Hakim Konstitusi Anwar Usman saat menyampaikan orasi ilmiahnya dalam acara Sidang Senat Terbuka Wisuda ke XX Program Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sunan Giri Malang, Minggu (18/11). Dalam orasinya, Anwar mengangkat tema “Perubahan UUD 1945 dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia”. Acara ini dihadiri oleh para pejabat Kota Malang, antara lain Walikota Malang dan Kapolda Malang.
Anwar diawal pemaparannya juga menjelaskan latar belakang dari Perubahan UUD 1945 sebagai sejarah perjalanan bangsa Indonesia. “Konstitusi Indonesia (UUD 1945) telah mengalami beberapa kali pasang surut. Mulai dari hasil bentukan BPUPK dan PPKI pasca Proklamasi Kemerdekaan, hingga sampai masa konstitusi RIS, yakni Republik Indonesia Serikat 1949-1950 yang mendapat banyak pertentangan hingga dibentuklah Undang-Undang Dasar Sementara pada tahun 1950,” jelasnya.
UUD 1945, kata Anwar, sebelumnya diperlakukan sebagai barang sakral, dimana tidak boleh menjadi bahan diskusi atau perdebatan, apalagi diubah. Setelah reformasi bergulir pada 14 Mei 1998, tuntutan demokratisasi muncul seiring dengan derasnya tuntutan reformasi dan perubahan konstitusi. Oleh karena itu, setelah beralihnya rezim kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi dan pasca pemilu 1999 perubahan konstitusi dimulai.
Beberapa alasan pokok UUD 1945 diubah karena dianggap tidak cukup mampu mendukung penyelenggaran negara yang demokratis dan menegakkan hak asasi manusia. Diantaranya, tidak ada pembatasan kekuasan presiden yang pasti, sehingga memungkinkan presiden untuk dipilih kembali dalam setiap kesempatan. Paham supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, lanjut Anwar, memiliki kecenderungan mudah didominasi oleh partai pemenang pemilu yang notabene adalah partai penguasa, sehingga menyebabkan tidak adanya sistem checks and balances antar cabang kekuasan negara. “Dan UUD1945 yang lama sangat cenderung memercayakan pelaksanaannya kepada semangat penyelenggara negara, sehingga hanya bersifat subjektif, dan bukan tergantung kepada sistem,” terangnya.
Perubahan norma UUD1945 berimplikasi kepada perubahan struktur dan format lembaga negara, dimana format lembaga negara sekarang ini tidak mengenal lembaga tertinggi negara sebagaimana dahulu dipegang oleh MPR. Pembagian kekuasaan saat ini, Anwar menegaskan, “adalah sederajat dan hanya dibedakan dari fungsinya semata, dan hal ini dikenal sebagai konsep checks adn balances.”
Selain itu, konsep keseimbangan kekuasan yang saat ini berlaku, pasca Perubahan UUD 1945 juga telah mengubah paradigma konsep demokrasi yang dianut selama ini. “Konsep demokrasi tidak lagi semata hanya didasarkan kepada legitimasi pemilu yang diberikan oleh rakyat kepada wakil-wakilnya yang duduk di legislatif, dan eksekutif. Melainkan juga keseimbangan paham antara demokrasi dengan pelaksanaan norma konstitusi (nomokrasi) yang telah disepakati sebagai ketentuan norma tertinggi dalam bernegara,” jelas Anwar panjang lebar.
Saat pembahasan mengubah UUD1945 dalam era reformasi, lanjut Anwar, muncul kembali pendapat pentingnya suatu lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan untuk membanding undang-undang. Oleh karenanya, perlu disediakan mekanisme institusional dan konstitusional, yaitu sebuah lembaga negara untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mnegimbangi dan saling mengendalikan. “Atas dasar pemikiran tersebut, maka terbentuklah mahkamah konstitusi yang berdiri sendiri disamping mahkamah agung yang mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan uud yang diputuskan oleh MPR,” terang hakim konstitusi usulan Mahkamah Agung ini.
Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide terbentuknya Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24 huruf c UU1945, yang menjadi bagian Perubahan Ketiga pada Sidang Tahunan MPR 2001. MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban, yaitu untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Kewenangan MK tersebut adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, serta memutus tentang perselisihan hasil pemilihan umum. Dan, kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut Kontitusi Indonesia. (Panji Erawan/Hamdi/Miftakhul Huda)