Ketika pilar-pilar demokrasi terasa lumpuh, namun masih ada satu pilar yang bisa diandalkan. Pilar itu adalah pers. Ya, pers yang progresif dan memberdayakan.
Demikian setidaknya pokok pikiran yang dikandung dalam orasi Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD. Orasi bertema “Pers Progresif dan Demokrasi Unggul Berperadaban Pancasila” tersebut, disampaikan oleh Mahfud dalam Acara Deklarasi PressCode di Auditorium Rajadipuro, Gedung Radio Republik Indonesia (RRI), Jakarta, pada Selasa (20/11) sore.
Menurut Mahfud, peran pers dalam mewujudkan negara yang demokratis sangatlah besar dan penting. Karena begitu kuatnya pers, ujar dia, maka dapat menumbangkan penguasa. “Sangat berharap pers ini menjadi penyokong demokrasi,” katanya. Bahkan, pada kasus tertentu pers bisa membawa seseorang pada proses hukum yang berujung pada dihukumnya orang tersebut.
Merefleksi perkembangan pers di tanah air, Mahfud mengungkapkan, dulu kebebasan mengemukakan pendapat, khsusunya melalui pers, sangatlah terbatas. Pemerintah orde baru, melalui berbagai instrumen hukum telah membelenggu kebebasan pers. Salah satunya dengan mengharuskan seluruh media massa yang ada pada waktu itu memiliki izin dari penguasa terlebih dahulu. Jika tidak memiliki izin, maka tak bisa terbit. “Anda sembarang menulis, dibredel, ditahan,” tegasnya.
Akan tetapi sekarang tidak lagi. Saat ini, lanjut Mahfud, pers bebas menulis dan mengkritisi apa saja. Dengan catatan, pers tetap menjaga idealismenya dan siap mempertanggungjawabkan berita yang disajikannya. Pers mesti mendorong demokrasi yang bermartabat.
Namun sayangnya, di tengah kebebasan pers tersebut, segelintir oknum telah mengkhianati idealisme yang seharusnya dipegang teguh oleh seuruh insan pers. Sebab, menurut Mahfud, ada pers tertentu, yang sangat mencolok keberpihakannya pada kepentingan tertentu. “Sekarang ada hegemoni berita oleh satu kekuatan tertentu, untuk media tertentu,” ungkapnya.
Mahfud menilai, ada media yang memilih untuk menyerang pihak tertentu, namun tidak menyerang pihak yang lain. Ada yang ‘ditonjolkan’, adapula yang ‘diteggelamkan’. “Mulai ada media yang seperti itu,” imbuhnya. Adapula pers yang menjadikan sebuah pemberitaan sebagai bahan untuk menekan pihak tertentu. Dengan menjadikannya sebagai ATM (baca: sarana memeras).
Beruntungnya, kata dia, penyimpangan tersebut hanya dilakukan segelintir oknum saja. “Kira-kira pers yang bagus itu dinodai oleh 10 persen masalah-masalah tadi, yang 90 persen masih oke dan harus kita pelihara,” paparnya. Kalkulasi ini, ujarnya, hanya berdasarkan analisis dan pengamatannya saja secara pribadi. Jadi belum bisa disimpukan sebagai fakta.
Dalam konteks itulah, menurut Mahfud, perlu adanya pihak yang melakukan pengawasan terhadap pers. Bagaimanapun bentuk penyimpangannya, semua itu mesti dibenahi dan ditindak. “Ini tidak sehat, harus diluruskan,” tegasnya.
Deklarasi PressCode
Pada kesempatan tersebut, juga dibacakan Deklarasi PressCode oleh sejumlah tokoh. PressCode sendiri merupakan singkatan dari Committee for Progressive Press and Democracy Empowerment (Komite untuk Pers Progresif dan Pemberdayaan Demokrasi). Komite ini memiliki visi Terwujudnya Pers Progresif dan Demokrasi Unggul Berperadaban Indonesia.
Beberapa tokoh pendiri PressCode, antara lain: Moh. Mahfud MD, Bambang Harimurti, J. Kristiadi, Komarudin Hidayat, M. Romahurmuzy, Maruarar Sirait, Marzuki Alie, Priyo Budi Santoso, Ray Rangkuti, Rieke Dyah Pitaloka, Solahudin Wahid, Taufiq Ismail, Yudi Latif dan beberapa tokoh lainnya. Pembacaan deklarasi dipimpin oleh Amin Abdullah.
Salah satu butir Deklarasi PressCode, berbunyi, bahwa pers ideal adalah pers yang mampu mengintegrasikan kearifan global dan kearifan lokal secara dinamis sebagai sudut pandnag penulisan karya-karya jurnalistiknya. Dengan telah dideklarasikannya PressCode tersebut, maka para pendiri membubarkan diri untuk selanjutnya tergabung dalam Dewan Pleno yang berfungsi sebagai pengambil keputusan tertinggi PressCode. (Dodi/mh)