Hakim Agung Mohammad Saleh sebagai salah satu dari hakim agung mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Peradilan Anak). Melalui kuasa hukumnya, Lilik Mulyadi, dia menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam UU ini telah mengkriminalisasi para hakim.
Dalam permohonannya, M. Saleh juga mengaku bahwa mengajukan permohonan ini selaku Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). “Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 (UU Peradilan Anak, pen) tersebut telah mengurangi derajat independensi hakim dalam melaksanakan tugas yudisialnya,” ungkap Lilik dalam sidang Pendahuluan Perkara No. 110/PUU-X/2012, Senin (19/11) di Ruang Sidang Pleno MK. “Karena, ancaman sanksi dalam ketentuan yang diuji tersebut telah membuka penafsiran bahwa pelanggaran terhadap hukum pidana formal anak, prosedur hukum acara pidana anak, merupakan suatu tindak pidana yang harus diancam dengan sanksi pidana.”
Padahal, kata Lilik, sudah sangat jelas dan nyata dari aspek penegakan hukum, penegakan hukum pidana formal anak merupakan instrumen bagi hakim untuk menegakkan dan menjamin tegaknya hukum pidana materiil anak. Akibatnya, dengan adanya kriminalisasi tersebut, ruang hakim untuk menggali keadilan masyarakat menjadi tertutup dan akan melahirkan legisme badan peradilan. “Menempatkan hakim hanya sebagai corong undang-undang saja,” tutur Lilik. “Politik kriminalisasi tidak diorientasikan pada nilai-nilai keseimbangan masyarakat”. Bahkan, menurutnya, ketentuan itu merupakan bentuk intervensi dari lembaga pembentuk UU kepada kekuasaan kehakiman. Sehingga, dia beranggapan, hal ini telah melanggar prinsip check and balance yang diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. “Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (2) dan (3) UUD 1945,” tegasnya.
UU ini, sambung dia, tidak proporsional dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Setelah mendengarkan pokok-pokok permohonan Pemohon, Panel Hakim Konstitusi yang terdiri dari Hakim Konstitusi Anwar Usman (Ketua Panel), Maria Farida Indrati, dan Achmad Sodiki pun kemudian memberikan beberapa saran perbaikan. Diantaranya terkait legal standing dan argumentasi Pemohon. Adapun Pasal 96 yang diuji Pemohon tersebut berbunyi, “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).” Sedangkan Pasal 100, menyatakan, “Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.” Pasal 101, merumuskan, “Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.” (Dodi/mh)