Mahkamah Konstitusi baru saja memutuskan mengenai pengujian UU 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, yang menyatakan BP Migas inkonstitusional. Hal ini berani diputuskan MK karena jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2). Demikian diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim ketika menemui Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu pada Senin (19/11) di Ruang Konferensi MK.
\"BP Migas dinyatakan inkonstitusional oleh MK karena BP Migas mewakili negara dalam mengurus sampai menandatangani kontrak kerja sama di bidang perminyakan dan gas dengan pihak asing. Hal ini mengakibatkan minyak Indonesia dikuasai asing sebanyak 53%. Padahal dalam UUD 1945 terutama Pasal 33 ayat (2) menyebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”,\" jelasnya.
Hal ini berkaitan dengan ciri negara kesejahteraan sebagai bagian dari demokrasi. Ciri dari negara kesejahteraan memiliki ciri, di antaranya pemerintah mengatur ketentuan-ketentuan yang menyangkut kepentingan umum. \"Demokrasi menganut sistem negara turut bertanggung jawav atas kesejahteraan rakyat dan karena itu harus aktif berusaha untuk menaikkan taraf kehidupan warga negaranya. Gagasan ini tertuang dalam konsep mengenai welfare state (negara kesejahteraan) atau social welfare state,\" ungkap Alim.
Dalam kesempatan itu, Alim juga menjelaskan mengenai kewenangan dan kewajiban MK. Sesuai dengan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, dinyatakan bahwa \"MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum\". \"Sementara kewajiban MK adalah MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD,\" tuturnya.
MK, lanjut Alim, paling sering menerima perkara mengenai pengujian UU dan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. \"Sejauh ini MK belum pernah menangani perkara mengenai pembubaran partai politik dan pemakzulan presiden. Untuk sengketa kewenangan lembaga negara, MK baru menerima beberapa perkara, termasuk sengketa kewenangan antara Presiden dan DPR yang pad akhirnya ditolak oleh MK,\" tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)