Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menjelaskan latar belakang dibentuknya MK. Di antaranya, sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme. Selain itu, MK dibentuk sebagai mekanisme pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip checks and balances.
“Pelaksanaan prinsip checks and balances diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi overlapping antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, sistem kontrol yang relevan adalah sistem kontrol yudisial,” kata Akil kepada para mahasiswa FH Universitas Bengkulu, Senin (19/11) pagi di ruang aula MK.
Latar belakang dibentuknya MK, lanjut Akil, agar penyelenggaraan negara dapat bersih. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan kekuasaan yang dapat ditempatkan untuk melakukan kontrol terhadap akuntabilitas pejabat publik dalam melakukan tugas dan fungsinya, agar tetap berpijak pada moralitas dan kepentingan warga negara.
“Kalau tidak berpijak pada moralitas dan kepentingan warga negara, berarti MK menyimpang dari amanah yang diberikan oleh konstitusi,” kata Akil.
Dikatakan Akil, MK mesti mengingatkan lembaga-lembaga negara lain kalau melakukan kesalahan. “Bagaimana MK mengingatkan Presiden atau Jaksa Agung yang dulu masa jabatannya tidak ada batasnya. Bahwa kekuasaan itu tidak ada yang tidak terbatas, semua ada batasannya,” jelas Akil yang didampingi M. Yamani selaku dosen FH Universitas Bengkulu.
“Termasuk juga MK mengingatkan negara tentang pengelolaan sumber daya alam, berdasarkan konsepsi Pasal 33 UUD 1945. Hingga putusan MK baru-baru ini menyatakan BP Migas inkonstitusional,” tambah Akil.
Akil juga menerangkan bahwa MK dibentuk untuk melindungi hak asasi manusia. “MK bertugas menjaga agar penyelenggara negara tetap berpijak pada prinsip demokrasi,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Akil menguraikan empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Pertama, MK menguji UU terhadap UUD. Kedua, MK memutuskan pembubaran partai politik. Kalau pemerintah ingin mengajukan pembubaran partai politik, harus mengajukan dulu kepada MK. Kalau dulu langsung bisa dibubarkan saja. Sekarang tidak boleh, karena itu konsekuensi dari hak-hak demokrasi.
Ketiga, MK memutus sengketa hasil Pemilu maupun Pemilukada. Keempat, MK mengadili sengketa antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, antara DPR dan Presiden. Sedangkan kewajiban MK adalah mengadili pendapat DPR terkait dugaan bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar UUD tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden, melakukan tindak pidana korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, dan tindak pidana berat lainnya.
“Misalnya DPR berpendapat bahwa Presiden atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat lagi. Maka pendapat DPR tidak bisa langsung diberikan kepada MPR, tapi harus diuji melalui MK,” tegas Akil. (Nano Tresna Arfana/mh)