Suasana temaram, bahkan hampir gelap, dengan dekorasi panggung dilatari warna putih dihiasi aksesori ala kadarnya, menyambut para hakim dan pegawai Mahkamah Konstitusi saat memasuki Aula Lantai Dasar MK, Senin (12/11). Pada sore itu, suasana Aula MK memang berbeda dari biasanya. Adalah Budayawan Radhar Panca Dahana dan Teater Kosong yang punya hajat. Mereka menggelar pentas pembacaan puisi. Tak hanya Radhar, tampil Olivia Zalianty, yang juga membacakan beberapa puisi.
Pada pentas puisi tersebut, Radhar dan Teater Kosong mengangkat tema “Manusia Istana”. Hadir pada kesempatan itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Selain itu, tampak pula Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar dan Panitera MK Kasianur Sidauruk.
Mahfud MD pun sempat memberikan sambutan singkat sebelum acara dimulai. Dalam sambutannya, Mahfud berterima kasih pada Radhar dan Teater Kosong yang telah memilih aula MK sebagai tempat pentas. Dia pun mengatakan sangat mengapresiasi kegiatan tersebut.
Di samping itu, Mahfud juga sempat mengutarakan tentang pandangannya terkait penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, penegakan hukum saat ini seakan kehilangan ruh. Faktanya, memang masih banyak terjadi ketidakadilan dalam penegakan hukum hingga klini.
Namun, meskipun hukum di Indonesia dewasa ini masih dirasa tak kunjung tegak, kita harus tetap optimis. Salah satu jalan yang bisa ditempuh dalam menegakkan keadilan hukum, kata dia, ialah melalui restorative justice. Sederhananya, restorative justice adalah penegakan dan penyelesaian perkara hukum melalui proses di luar pengadilan. Yakni, mengutamakan penyelesaian secara bersahabat antara para pihak yang berperkara. “Konflik-konflik diselesaikan secara damai dan kekeluargaan,” ungkapnya.
Untuk diketahui, restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban, dan masyarakat dalam proses penyelesaian kasus hukum, terutama pidana.
Sementara itu, dalam pentas puisi tersebut, dibacakan tidak kurang dari sepuluh puisi. Puisi-puisi yang dipentaskan kebanyakan bernuansa kritik sosial. Beberapa judul puisinya: Ekonomi Plastik, Kopiah Sang Jenderal, Di Toilet Istana, Pejuang Konon Kabarnya, Demonkrasi Pagi Ini, Reformati, Sepetak Sawah Di Istana, dan Warisan Akhirmu Soekarno. (Dodi/mh)