Komisi Perlindungan Anak Indonesia berkeluh-kesah mengenai masalah yang dihadapi oleh anak-anak Indonesia kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD pada Jumat (9/11). Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Bidang Hukum KPAI Apong Herlina didampingi anggota KPAI yang lain datang untuk menyampaikan hasil penelitian yang telah dilakukan KPAI mengenai masalah hak anak Indonesia yang masih dilanggar oleh negara.
“Kami sangat berterima kasih atas kesempatan yang diberikan Ketua MK Bapak Moh. Mahfud MD karena telah bersedia menerima kami. Pertemuan ini sangat bermanfaat untuk menegakkan konstitusi terutama demi hak anak Indonesia,” ujarnya.
Apong mengungkapkan KPAI sangat berterima kasih atas putusan MK mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Apong, kedua putusan MK tersebut dianggap KPAI telah melindungi hak anak Indonesia yang menjadi korban terhadap berlakunya UU tersebut. “Putusan MK terkait usia kriminal anak ini melindungi hak anak dan kami bersyukur putusan tersebut sudah ditetapkan ke dalam UU. Hal ini mengubah keadaan menjadi lebih baik karena menurut penelitian kami, anak yang di penjara akan, tidak menjadi lebih baik,” urainya.
KPAI, jelas Apong, juga mempermasalahkan mengenai adanya norma hukum yang inkonstitusional seperti norma hukum yang mengatur mengenai perebutan hak asuh anak. Apong menjelaskan anak dalam hal ini, menjadi properti orang tua dan justru akan mengganggu perkembangan si anak sendiri.”Kemudian, masalah masif lainnya adalah masalah administratif bagi anak pelaku kejahatan. Jadi, ada kasus anak yang seharusnya sudah selesai masa hukumannya, tidak bisa keluar dari penjara karena aparat penegak hukum lambat mengeluarkan surat,” jelasnya.
Hal yang teramat disayangkan oleh KPAI serta menjadi pokok persoalan adalah adanya pembiaran oleh negara mengenai masalah banyaknya anak Indonesia yang tidak memiliki akta kelahiran sebagai hak dasarnya. Menurut Apong, dalam catatan KPAI, dari jumlah 85 juta anak Indonesia, sebanyak 50 juta anak Indonesia tidak memiliki KTP. “Hal ini disebabkan adanya aturan jika keterlambatan dalam membuat akta kelahiran dikenakan denda. Padahal bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil, membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk mengurusnya. Apalagi untuk mengurus akta kelahiran hanya bisa dilakukan di kabupaten/kota,” paparnya.
Menanggapi persoalan yang dihadapi KPAI, Mahfud mengungkapkan tidak dapat membahas satu-persatu apalagi adanya kemungkinan persoalan tersebut masuk ke MK sebagai pengujian undang-undang. “Kami mempunyai bagian penelitian dan pengembangan yang disebut Pusat Penelitian dan Pengkajian (Puslitka). Kami minta bahan tertulis dari persoalan yang disebutkan tadi untuk kita diskusikan bersama,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)