Terdapat tiga konsep atau gagasan yang disajikan oleh Friedman dalam membangun hukum atau konstitusi, yaitu konsep subtansi, konsep struktur, dan konsep budaya. Menurut Ketua Mahkamah Kontitusi (MK) Moh. Mahfud MD, dari sudut subtansi, hukum yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sudah selesai atau cukup sempurna. Hal demikian terbukti, penegakan negara hukum yang baru muncul sebenarnya sejak dahulu sudah ada dalam hukum negara Indonesia.
Misalnya, kata Mahfud, sejak dahulu bangsa Indonesia sudah mengatakan Indonesia adalah negara hukum. Namun dalam UUD 1945 hanya tercantum dalam penjelasan (rechtsstaat). Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 sudah mengatakan bahwa Indonesia berdasarkan konstitusi. Konstitusi itu adalah pernyataan tertinggi dari sebuah negara hukum. “Sehingga persoalan itu tidak dipersoalkan,” ucap Mahfud dalam acara Diskusi Panel Ahli Seri Kelima, bertema “Hukum, Keadilan, dan Tertib Sosial” diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Jumat (9/10).
Namun demikian, dikatakan Mahfud lagi, tetap saja ada orang yang mengatakan kenapa kata negara hukum berada dalam penjelasan. Menurutnya, istilah rechtsstaat dalam hukum juga menimbulkan persoalan. Sebab, rechtsstaat sendiri mempunyai konsep hukum yang lahir dari tradisi civil law. Di mana, civil law sendiri mempunyai arti hukum tertulis yang ada dalam Undang-Undang (UU). “Sehingga yang dikatakan benar menurut hukum dan sesuai dengan UU, itulah rechtsstaat,” ucapnya.
Tetapi ada konsep negara hukum yang lain, namanya the rule of law. Menurut Mahfud, antara rechtsstaat dengan the rule of law mempunyai istilah berbeda. The rule of law adalah suatu sistem hukum yang bersumber dari tradisi kekuasaan hakim, dan sebenarnya tidak berasal dari UU. “Hakim membuat hukum, tidak ada undang-undangnya,” kata dia.
Dikatakan Mahfud lagi, terjadi perdebatan berkenaan the rule of Law dan rechtsstaat. Sehingga saat dilakukan amandemen UUD 1945, ia merupakan salah satu orang yang mengusulkan bahwa kata negara hukum dari penjalasan dimasukkan ke batang tubuh UUD 1945. “Sehingga dalam UUD 1945 tersebut tidak ada kata rechtsstaat lagi atau sudah dicoret,” terangnya.
Hakim Jangan Terbelenggu
Alasan hal demikian dihapus, Mahfud melanjutkan dalam paparannya, agar dapat menggabungkan konsep tersebut menjadi konsep prismatika hukum. Sehingga, hal-hal bagus dari rechtsstaat yang di dalamnya menghendaki kejelasan aturan bisa digabungkan dengan keadilan seorang hakim dalam memutuskan. Hal demikian, lanjut Mahfud, di MK dinamakan hukum progresif. Artinya, hukum tidak hanya dilihat secara parsial, namun juga dilihat secara komprehensif.
“Hakim itu tidak boleh dibelenggu oleh pasal yang ada dalam undang-undang,” terangnya. “Karena ketika undang-undang itu menjadi pasal, sebenarnya pasal itu sudah mati,” kata mantan Menteri Kehakiman era Presiden Gus Dur itu.
Sehingga yang disebut dengan pasal hukum itu, jelas Mahfud, bukan merupakan pasal UU tetapi denyut kehidupan masyarakat yang selalu menyuarakan keadilan. “Itu lah hukum,” ucapnya. Dan MK, kata Mahfud, mengembangkan hukum progresif secara tegas dan sudah tertuang dalam putusannya. Lebih dari itu, kata dia, hakim konstitusi menganut hukum progresif dalam arti semua hukum yang tertulis dianggap benar dan hakim terikat akan itu.
“Karena kepastian hukum itu menjadi penting untuk menegakkan keadilan. Akan tetapi dalam hal-hal undang-undang tersebut tidak bisa memberi rasa keadilan, hakim boleh membuat putusannya sendiri. Itu yang dilakukan oleh MK,” terang Ketua MK tersebut.
Saat menjadi narasumber, Mahfud didampingi Ketua Umum ISNU Ali Masykur Musa, dan dua narasumber yang lain, yakni pengamat hukum Refly Harun dan dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar. Hadir juga puluhan tokoh ISNU, beserta sejumlah media, baik elektronik maupun cetak. (Shohibul Umam/mh)