Metode pengujian UU yang dilakukan hakim konstitusi beragam. Semua interpretasi bisa digunakan dengan metode pengujian tertentu. “Kadang-kadang kita menguji UU terhadap UUD. Hal itu berdasarkan penafsiran gramatikal. Artinya, kita melihat pada rumusan pasal tersebut. Kita akan melihat satu kata bisa ditafsirkan untuk pengujian UU ini benar. Sedangkan untuk pengujian UU yang lain bisa tidak benar,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati kepada para mahasiwa Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jumat (9/11) pagi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Terkait metode pengujian UU, Maria Farida Indrati mencontohkan ada pasal yang mengatakan bahwa setiap warga negara yang memiliki gaji Rp 10 juta/tahun dapat membayar pajak. Kata ‘dapat’ membayar pajak itu memiliki penafsiran berbeda-beda.
“Namun MK mengatakan bahwa kata ‘dapat’ itu harus dimaknai wajib. Sehingga orang wajib membayar pajak,” jelas Maria.
Maria juga memaparkan perihal permohonan pengujian UU yang meliputi pengujian formil dan pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
“Sedangkan pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” ungkap Maria kepada para mahasiswa.
Dalam kesempatan itu Maria menerangkan keberadaan MK yang terdapat dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Selain itu, Maria menjelaskan kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
“MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD,” imbuh Maria.
Lainnya, Maria menguraikan persyaratan menjadi hakim konstitusi yaitu memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden.
“Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang,” tambah Maria.
Berikutnya, Maria menyampaikan prosedur permohonan untuk berperkara di MK, termasuk juga prosedur persidangan MK yang dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan, berlanjut dengan sidang pembuktian hingga akhirnya sidang pembacaan putusan. (Nano Tresna Arfana/mh)