Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mendapat reaksi dari para hakim. Mereka keberatan dengan sejumlah pasal UU SPPA, khususnya tentang sanksi pidana atau denda bagi para hakim yang menangani perkara pidana anak. Pasal-pasal itulah yang hendak diuji oleh para hakim ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, apakah cukup kuat dasar yuridis pengajuan uji materi UU itu ke MK? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu dicermati.
Pertama, UU SPPA sebagai bagian dari sistem hukum peradilan pidana, tunduk pada asas-asas/prinsip-prinsip umum dalam sistem peradilan pidana. Di antaranya, prinsip independensi dan imparsialitas hakim, praduga tak bersalah; peradilan cepat dengan tetap menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum secara berimbang.
Kedua, dalam sistem peradilan pidana umumnya tidak mengenal adanya sanksi pidana penjara atau denda bagi penegak hukum, termasuk hakim, yang melakukan kekeliruan atau kesalahan dalam bidang administrasi peradilan. Kesalah-an ini dikenakan sanksi administratif bagi penegak hukum, termasuk hakim yang melakukan pelanggaran administratif dalam proses peradilan.
Ketiga, menyimpang dari poin kedua di atas, UU SPPA ini menetapkan ketentuan pidana bagi penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) yang melakukan pelanggaran administratif proses peradilan dalam sistem peradilan pidana anak. Khusus untuk hakim, tercantum dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA.
Penyimpangan tersebut menimbulkan beberapa persoalan hukum, yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24, dan Pasal 28D ayat (1) Konstitusi UUD 1945.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menetapkan Indonesia adalah negara hukum. Salah satu prinsip penting dari negara hukum adalah adanya independensi kekuasaan kehakiman. Prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang independen itu dirumuskan dalam The Seventh United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders di Milan (1985) yang kemudian disahkan oleh General Assembly Resolutions 40/32 dan 40/146 (1985).
Tiga Pelanggaran
Dari 7 prinsip independensi kekuasaan kehakiman ini, ada 3 prinsip yang dilanggar oleh ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA.
Pertama, terkait ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 yang secara jelas menunjukkan bahwa negara tidak lagi menjamin independensi kekuasaan kehakiman. Demikian juga pemerintah dan institusi pembuat kebijakan legislasi tidak lagi menghormati dan memperhatikan independensi kekuasaan kehakiman.
Kedua, terkait ketentuan Pasal 96, 100, dan 101, yang baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or interferences bagi independensi para hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam peradilan anak.
Ketiga, terkait ketentuan Pasal 96, 100, dan 101, yang merupakan bagian dan berhubungan dengan proses peradilan anak.
Karena Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 telah melanggar prinsip-prinsip independence of judiciary, maka norma-norma hukum dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Kemudian, pasal 24 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional tentang kekuasaan kehakiman. Ayat (1) menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat (2) menetapkan bahwa susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 24 ini merupakan perwujudan dan jaminan konstitusional akan prinsip keseimbangan institusional. Dari perspektif hukum keseimbangan institusional merupakan suatu prinsip konstitusional dalam pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif di mana kekuasaan yang satu harus menghormati kekuasaan yang lain. Maka, berdasarkan prinsip keseimbangan institusional segala hal yang menyangkut kekuasaan badan-badan kehakiman dan pelaksanaan dari kekuasaan badan-badan kehakiman tersebut, termasuk dalam proses peradilan, harus berada dalam kompetensi pengaturan Pasal 24 UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan Pasal 24 UUD 1945 tersebut. Berdasarkan prinsip keseimbangan insitusional ini juga, ancaman hukuman/sanksi terhadap hakim yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam peradilan harus berada dalam domain dan kompetensi kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24 UUD 1945 tersebut.
Ketentuan Pasal 96, 100, 101 berada di luar domain dan kompetensi kekuasaan kehakiman berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, karena itu bertentangan dengan keseimbangan institusional yang merupakan prinsip konstitusional, yang dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945. Pasal 28D UUD 1945 menetapkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang ini termasuk hakim yang mengadili perkara peradilan anak. Dengan adanya Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 para hakim dalam peradilan anak tidak memiliki jaminan, perlindungan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dibandingkan dengan hakim-hakim dalam peradilan umum, dan peradilan lainnya. Pasal tersebut diskriminatif terhadap hakim dalam peradilan anak dan bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.