Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi pada Kamis (8/11). Sidang perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 96/PUU-X/2012 ini diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Dalam sidang beragendakan mendengar keterangan Pemerintah dan DPR serta Ahli dan Saksi Pemohon, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyampaikan hasil penelitian yang sudah dilakukan ke hadapan Majelis Hakim Konstitusi dan dilampirkan sebagai alat bukti. Dalam keterangannya, Perludem menyebut bahwa sebenarnya UUD 1945 telah memberikan solusi atas ketidakseimbangan suara yang terjadi antara masyarakat di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa. Dominasi konsentrasi penduduk di Pulau Jawa akan mempengaruhi prinsip keterpilihan anggota DPR, namun hal ini akan diseimbangkan dengan dominasi DPD.
“Memang wewenang DPD masih kalah kuat dari DPR, namun hal ini bukan berarti harus mengabaikan prinsip keterwakilan bahwa DPR mewakili orang dan DPD mewakili wilayah. Justru dengan prinsip keterwakilan itu, DPR dan DPD harus bekerjasama dengan masing-masing berkedudukan sebagai lembaga perwakilan. Solusi penyelesaian sengketa antara DPR dan DP adalah dengan mencari ke akarnya, yakni mengenai prinsip keterwakilan. DPR harus mewakili orang dan DPD mewakili wilayah jika akarnya selesai, maka masalah berikutnya akan lebih mudah diselesaikan. Pada titik inilah MK memiliki peran strategis dengan memutuskan masing-masing mewakili orang dan daerah secara konstitusi,” jelas Perludem selaku Pemohon.
Sementara itu Pemerintah menjelaskan ketentuan yang diujikan oleh para pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Pemerintah, jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang sesuai dengan konsensus politik karena cukup mewakili keseluruhan penduduk dan merupakan bagian efisiensi anggaran.Pemerintah. “Pemerintah memahami jumlah penduduk naik setiap tahunnya dan seharusnya memungkinkan untuk penambahan jumlah anggota DPR.Namun alokasi kursi di setiap dapil seperti yang diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 tentu saja tidak dapat diberlakukan secara mutlak karena adanya affirmative policy,” urai Pemerintah.
Akan tetapi, pemerintah menghargai usaha yang dilakukan masyarakat untuk menyumbangkan partisipasi pemilikiran alokasi dapil dan alokasi kursi Indonesia karena sangat dibutuhkan untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu. “Pemerintah menghargai rujukan ini. Kami mengharapkan dialog mengenai hal ini antara pemerintah dengan masyarakat terjalin baik,” paparnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan mekanisme pengalokasian kursi dan penetapan daerah pemilihan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif) bertentangan dengan UUD 1945 karena telah mengakibatkan ketidakpastian hukum. Lampiran UU Pemilu Legislatif tersebut dengan tegas telah melakukan penyimpangan atas prinsip kesetaraan. Lampiran UU Pemilu Legislatif tersebut merupakan lampiran yang ditetapkan tanpa menggunakan metode penghitungan dan penetapan yang jelas. Karena, lampiran tersebut merupakan lampiran yang sama seperti dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif yang berlaku saat penyelenggaraan Pemilu 2009. Dia menambahkan, karena tidak menerapkan prinsip kesetaraan dalam penentuan pengalokasian kursi dan penetapan daerah pemilihan pada UU Pemilu Legislatif maka mengakibatkan beberapa provinsi mengalami overrepresentated sehingga ada jumlah kursi yang melebihi jumlah seharusnya dan beberapa provinsi malah underrepresented. Akibatnya, terjadi ketidaksetaraan harga kursi antar daerah pemilihan. (Lulu Anjarsari/mh)