Piutang negara hanya piutang pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Piutang negara tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasi negara termasuk bank-bank Badan Usaha Milik Negara. Hal ini oleh karena ketentuan UU BUMN mengatur bahwa BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan.
Hal demikian disampaikan Hakim Konstitusi Akil Mochtar pada acara “Diskusi Panel mengenai Penyelesaian Piutang BUMN Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2012” dalam sebuah acara Rapat Umum Anggota Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara (Forum BUMN) yang diselenggarakan Kementerian BUMN RI di Hotel Inna Garuda di Yogyakarta, (8/11). Diskusi panel ini merupakan bagian dari rangkaian sebuah acara Rapat Umum Anggota Forum BUMN yang berlangsung dua hari.
Dalam kesempatan ini, Akil menyampaikan bahwa berlakunya UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah mengubah pengertian piutang negara yang terkandung dalam UU No.49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). “Piutang BUMN adalah piutang perseroan terbatas BUMN atau piutang swasta yang dibedakan dengan piutang negara atau piutang publik. Klasifikasi utang atau piutang BUMN adalah piutang perseroan, sehingga mekanisme penyelesaiannya mengikuti mekanisme perseroan. Piutang bank BUMN bukan lagi piutang piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN,” jelas Akil.
Jadi, menurut Akil, piutang dari bank-bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing dari bank BUMN tersebut berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing-masing bank BUMN tersebut. “Prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN dengan melakukan restrukturisasi baik dalam pola haircut, konversi maupun rescheduling,” tambah juru bicara MK ini.
Pertimbangan penting putusan No.77/PUU-IX/2012 mengenai pengujian kewenangan PUPN terkait mengurus piutang BUMN yang tidak dapat melakukan restrukturisasi hutang atas piutang para debitur bank BUMN ini, menurut penjelasan Akil di dalam makalahnya, menegaskan bahwa menurut pertimbangan putusan MK kedudukan Peraturan Pemerintah yang merujuk dan sebagai pelaksanaan dari UU PUPN tersebut merupakan aturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip hukum yang berlaku umum. Akil mengatakan, “Putusan ini memberikan kepastian hukum bagi para pihak sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.”
Akil juga menjelaskan, amar putusan lembaga peradilan tata negara ini, MK telah menyatakan inkonstitusional frasa dalam beberapa pasal UU PUPN, yaitu Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (4), Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1). Selanjutnya dikemukakan dengan dinyatakan inkonstitusional dan tidak mengikat frasa dalam beberapa pasal tersebut, maka menurut Akil bahwa ketentuan beberapa pasal tersebut harus dibaca lain. Misalkan Pasal 8 harus dibaca, “Yang dimaksud dengan piutang negara atau hutang kepada negara oleh peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.” Pasal ini, lanjut Akil, karena MK menyatakan frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 UU PUPN adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Acara diskusi panel ini dibuka oleh Sesmen Kementerian BUMN Wahyu Hidayat yang mewakili Menteri BUMN Dahlan Iskan yang berhalangan hadir karena undangan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Selain Akil, acara ini juga diisi oleh narasumber yakni Andi Pardede, Kasubdit Piutang Negara 1 Ditjen Kekayaan Negara. Peserta acara ini diikuti oleh para kepala Divisi Hukum BUMN seluruh Indonesia dan para pejabat di Kementerian BUMN. (Donny Yuniarto/Miftakhul Huda)