Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan (UU MD3) kembali diajukan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 104/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh beberapa perseorangan warga negara yang merasa dirugikan karena pilihan anggota DPD untuk mewakili aspirasinya justru terhambat dengan berlakunya UU tersebut.
“Para Pemohon dalam Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 telah memilih anggota DPD. Pemilih mempercayakan aspirasinya kepada DPD yang dipilih, namun dengan berlakunya UU MD3 dan UU P3 justru telah mereduksi kewenangan DPD hingga tidak cukup maksimal untuk menyampaikan hak-hak warga negara,” jelas kuasa hukum Pemohon, Veri Junaidi pada sidang Pemeriksaan Pendahuluan, Senin (5/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
Veri menjelaskan bahwa Pasal 22 UUD 1945 telah dimaknai salah oleh pembuat UU. Menurut Veri ada dua hal terkait dengan tereduksinya kewenangan DPD, yakni untuk dapat mengajukan rancangan undang-undang dan membahas rancangan undang-undang. “Kewenangan DPD tersebut telah dimaknai salah dan UU MD3 serta UU P3 telah mereduksi kewenangan DPD. Kewenangan DPD berbeda dengan kewenangan DPR. Harusnya bisa diatur dalam peraturan perundang-undangan secara benar. Dan menempatkan (usulan rancangan undang-undang) DPD sama kedudukannya dengan usulan rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR. Ada pengaturan yang berbeda dalam beberapa ketentuan MD3 dan P3,” papar Veri di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Selain itu, lanjut Veri, ketentuan untuk membahas rancangan undang-undang dalam Pasal 20 UU P3 yang disebutkan bahwa Presiden membahas bersama DPR. Ketentuan tersebut justru mereduksi kewenangan DPD hanya pada tahap 1 dalam membahas rancangan undang-undang. “Padahal dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, diberikan kewenangan untuk membahas RUU otonomi daerah, sumber daya alam, APBN dan lainnya. Berdasarkan penafsiran tersebut, DPD semestinya memiliki kewenangan tidak hanya tahap pertama, tapi seluruh tahapan bersama DPR dan Presiden. Mengidentifikasi beberapa ayat dan pasal dalam 6 pasal dalam UU MD3 dan 12 pasal dalam UU P3, karena memaknai secara salah,” jelasnya.
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim Konstitusi yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Muhammad Alim memberikan saran perbaikan terhadap Pemohon. Maria menjelaskan ada ambiguitas yang bertabrakan dalam petitum Pemohon yang harus diperbaiki. “Petitum Anda aneh; menafsirkan makna frase ‘dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang’ dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 bermakna bahwa DPD memiliki kewenangan yang setara dengan Presiden dan DPR untuk mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Petitum Anda meragukan karena meminta agar DPD disejajarkan dengan DPR, kenapa dibatasi hanya UU ini saja? DPD disetarakan DPR dengan Presiden untuk UU tertentu, tapi di petitum nomor 6 Anda menyebut; memerintahkan Presiden dan DPR mengubah atau mengganti UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 27 Tahun 2009 menurut tafsir konstitusi yang telah ditetapkan Mahkamah, yaitu pembahasan RUU bersifat bipartit (DPR dan Presiden) untuk seluruh RUU di luar ketentuan Pasal 22D Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 dan bersifat tripartit (DPR, Presiden, dan DPD) untuk RUU yang terkait dengan Pasal 22D Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945. Perubahan atau penggantian tersebut sudah harus selesai sebelum terpilihnya anggota DPR dan anggota DPD hasil Pemilu 2014 sehingga dapat digunakan oleh anggota DPR dan anggota DPD Periode 2014-2019 serta presiden terpilih Periode 2014-2019. Anda masih bingung, apa keterlibatan DPD hanya RUU tertentu saja atau semua RUU. Anda jadi ambigu kembali. Mana yang ingin Anda sampaikan?” urai Maria.
Sedangkan Ketua Majelis Hakim Panel M. Akil Mochtar meminta agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum permohonannya. Para pemohon yang terdiri dari Prof Syamsuddin Haris selaku Peneliti LIPI, Yudi Latif selaku Direktur Eksekutif Reform Institute, Sukardi Rinakit selaku Pendiri Yayasan Soegeng Sarjadi, Titi Anggraini selaku (Perludem), Toto Sugiarto selaku Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate, Yurist Oloan selaku Peneliti (FORMAPPI), Hemawan Estu Bagijo selaku Ketua Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jatim, Refly Harun selaku Direktur Eksekutif Constitutional & Electoral Reform Centre (CORRECT), Yuda Kusumaningsih selaku Koordinator Pokja Keterwakilan Perempuan, Sulastio selaku Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC), Sulastio, selaku Wasekjen KIPP Indonesia, Pipit Apriani selaku Peneliti pada Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Yusfitriadi selaku Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Abdullah selaku Koordinator Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW), Feri Amsari selaku Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas, serta King Faisal Sulaiman selaku Direktur LBH Imparsial sekaligus Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah.
“Legal standing diperbaiki karena walaupun perseorangan hubungan sebab akibatnya berbeda. Kerugian konstitusional karena DPD itu tidak maksimal yang membuat pilihan Saudara tidak bisa menyampaikan aspirasi Saudara. Oleh karena itu, kerugian konstitusional itu harus disesuaikan dengan kedudukan hukum para pemohon,” paparnya.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu selama 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)