DISADARI atau tidak pertanyaan tersebut memang sangat pantas untuk diajukan kepada pemangku pengambil kebijakan di negeri ini khususnya daerah kita Aceh tercinta yang sedang dijadikan sebagai lab khusus para peneliti jalannya proses politik demokrasi. Yah, Aceh dianggap bak seorang gadis cantik yang selalu hangat untuk dibicarakan, sebagai laboratoriumnya khasanah perpolitikan, gudangnya para pemberontakan dan front perlawanan. Dalam perjalanan sejarah pun, Aceh juga dijadikan sebagai rujukan berbagai macam pemecahan masalah atas polemik dan persoalan yang terjadi.
Namun menyangkut dengan pertanyaan di atas, kita khususkan persoalan ini kepada sebuah isu yang dalam beberapa hari ini sangat gencar diberitakan media ini menyangkut belum dilantiknya dua pasangan bupati/wakil bupati terpilih, hasil Pemilukada yang berlangsung serentak bersama sejumlah kabupaten/kota lainnya di Aceh pada Pemilukada 9 April lalu. Kedua pasangan ini adalah Nasaruddin-Kahirul Asmara sebagai Bupati/Wakil Bupati Aceh Tengah terpilih, dan Ibnu Hasim-Adam sebagai Bupati/Wakil Bupati Aceh Tenggara terpilik periode 2012-2017,
Belum diketahui pasti apa alasan sebenarnya yang menyebabkan sampai dengan saat ini Gubernur Aceh dr Zaini Abdullah belum juga melantik Bupati terpilih. Meskipun SK pengangkatan kedua pasangan Bupati terpilih itu sudah turun dan sudah diterima oleh Pemerintah Aceh dari Mendagri beberapa waktu yang lalu untuk segera melantik posisi paling strategis di masing-masing daerah tersebut, karena secara hukum Gubernur sebagai perpanjangan tangan dari Mendagri memang sudah tidak ada halangan lagi untuk tidak melantik kedua Bupati terpilih tersebut.
Tak ada hambatan
Di samping itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD juga sudah mengeluarkan keterangannya terkait persoalan itu saat menghadiri acara Dies Natalis Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) di Banda Aceh, beberapa waktu lalu. Beliau menyebutkan bahwa tidak ada hambatan untuk seorang Gubernur hari ini melantik Bupati Aceh Tengah dan Bupati Gayo Lues terpilih, karena sudah ada Putusan MK terkait gugatan hasil Pemilukada beberapa waktu lalu yang berakhir dengan ditolaknya gugatan dari pihak penggungat kedua pasangan itu.
Meskipun dikhawatirkan muncul lagi gugatan-gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), akan tetapi apapun hasilnya itu tetap tidak akan berpengaruh terhadap hasil pelantikan tersebut walaupun nantinya dikabulkan oleh Hakim PTUN, karena Putusannya hanya bersifat pernyataan (declatoir) dan tidak membatalkan Putusan MK sebelumnya.
Sudah ada Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) bahwa jika PTUN membatalkan perkara pemilu yang telah diputus MK, maka yang berlaku adalah putusan yang tertinggi yakni putusan MK. Artinya tidak ada lagi permasalahan hukum dalam hal ini. Gubernur bisa segera melakukan pelantikan terhadap kedua Bupati terpilih tersebut. Gugatan terhadap hasil sengketa pemilukada itu sudah selesai diputuskan oleh MK dan setiap putusan yang dikeluarkan oleh MK sifatnya final dan mengikat. (Serambi, 1/9/2012)
Tidak ingin menerka-nerka apalagi berusu’uzhon, apapun yang sedang dipertimbangkan oleh Gubernur saat ini terkait dengan permasalahan penundaan pelantikan bupati di kedua kabupaten tersebut, kita selaku masyarakat hanya bisa menyuarakan bahasa qalbu bahwa langkah tersebut kuranglah begitu tepat. Alasannya, pihak-pihak peneliti, pemerhati, peninjau maupun pemerintah pusat di sana terus menyorot keberlangsungan gaya/proses jalannya politik demokrasi di Aceh.
Mengapa di kabupate/kota lainnya dikala semua Bupati terpilih lainnya sudah di lantik, namun di saat yang bersamaan mereka ini tidak kunjung juga dilantik, bukankah mereka mempunyai hak yang sama? Apa sebenarnya yang melatarbelakangi sehingga persoalan ini muncul? Apakah ini ada hubungannya dengan istilah awak tanyoe dan kon awak tanyoe? Berbagai macam pertanyaan muncul di benak masyarakat terkait dengan permasalahan ini.
Kita tentunya tidak ingin hal ini terus berlarut sehingga ada pihak yang merasa dirugikan dengan sikap tersebut. Boleh saja sikap kehati-hatian itu dimunculkan, akan tetapi tidak terlalu lama, karena hal itu akan berimbas pada hal-hal yang tentunya tidak kita inginkan nantinya. Setiap keputusan ataupun kebijakan yang diambil oleh seorang pengambil kebijakan, yakinlah bahwa keputusan ataupun kebijakan tersebut belum tentu baik dan memuaskan semua pihak atau semua kalangan. Tentunya, akan ada pihak-pihak atau orang-orang yang tidak bisa menerima keputusan tersebut. Namun kalau itu yang dirasakan dan diyakini memang itu yang terbaik maka lakukanlah.
Pesan perubahan
Kepada Gubernur kita harapkan untuk dapat mempertimbangkan hal-hal yang bisa saja terjadi. Bahkan hal-hal terburuk sekalipun bisa saja terjadi ketika persoalan ini terus dibiarkan, baik itu menyangkut dengan kestabilan politik, nama baik sebagai orang nomor satu maupun juga trust (kepercayaan) masyarakat terhadap pemimpin mereka hari ini untuk bisa membawa sebuah pesan perubahan yang benar-benar bisa terjadi yaitu Aceh yang baldatun thaibatun warabbul ghafur, Aceh yang damai yang dipimpin oleh orang yang cinta akan kedamaian dan mampu membawa Aceh ke arah yang lebih baik.
Aceh butuh figur yang seperti itu, figur yang dicintai oleh masyarakat di saat ada maupun di dalam ketiadaannya. Aceh bukanlah barang baru dalam kancah dunia perpolitikan, peran politik sudah lama dimainkan oleh punggawa-punggawa daerah ini. Bagaimana, misalnya, Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh sehingga ekspansi kerajaannya sampai ke semanjung Malaya dan gaya kepemimpinannya terus dikenang oleh masyarakat.
Sampai detik ini masyarakat terus berharap akan adanya Sultan Iskandar Muda selanjutnya, yang mampu membawa Aceh kembali kepada masa kejayaannya. “Inilah saatnya! Nyoe keuh nyoe masa hai Nyak Daud!” kata Tgk H Hasan Kreung Kalee kepada Gubernur Militer Tgk Daud Beureueh untuk menentukan nasibnya sendiri, mau dibawa kemana arah perjuangan ini. Jangan sampai perjuangan sia-sia, penyesalan yang kembali akan terulang. Wallahu’alam bishawab.