Kewenangan DPD dalam menyusun rancangan undang-undang tidak boleh dileburkan atau disatukan dengan DPR. Hal ini disampaikan oleh Mantan Hakim Konstitusi Laica Marzuki ketika menyampaikan keterangan sebagai Ahli Pemohon pengujian Undang-Undang No. 27/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
“Konstitusi menetapkan rancangan perundang-undangan dari DPD setara dengan rancangan perundang-undangan dari DPR. Seharusnya rancangan undang-undang dari DPD diintegrasi dengan rancangan undang-undang milik DPR. Hanya ada 3 rancangan undang-undang,” jelas Laica di hadapan persidangan yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD pada Kamis (1/11).
Laica menjelaskan rancangan undang-undang dibagi menjadi tiga, yakni rancangan undang-undang dari DPR, Pemerintah, dan DPD. Akan tetapi, Laica menilai yang tercantum dalam UU MD3 tidak tepat. “Rancangan undang-undang dari RUU DPD ditiadakan dan dilebur menjadi RUU dari DPR. Padahal di dalam Konstitusi tidak meleburkan rancangan undang-undang DPD menjadi rancangan undang-undang produk DPR. Kemudian pada Pasal 43 ayat (2) UU P3, rancangan undang-undang dari DPR dapat berasal dari rancangan undang-undang DPD, ini adalah dua hal yang tidak boleh disatukan. Ini kewenangan yang diberikan oleh konstitusi, tidak boleh dihilangkan atau dilebur menjadi rancangan DPR. DPD harus mendapatkan kehormatan yang menjadi hak dan kewenangan konstitusionalnya,” tandas Laica.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, M. Fajrul Falaakh mengungkapkan ada kekeliruan dalam Pasal 102 ayat (1) UU MD3 yang menyamakan rancangan undang-undang dari DPD sebagai rancangan undang-undang yang diusulkan oleh anggota-anggota dewan. “Dengan kata lain, UU MD3 salah menerapkan Pasal 21 UUD 1945, tetapi Pasal 46 ayat (3) UU P3 dan Pasal 143 ayat (5) UU MD3, disebutkan disitu rancangan undang-undang dari DPR hanya diajukan ke Presiden. Semestinya untuk kepatutan tata negara dan hubungan antarlembaga negara dikirim pula ke lembaga lain,” ujarnya.
Pandangan lain diungkapkan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Yuliandri menjelaskan dalam merancang undang-undang, seharusnya tidak hanya melibatkan DPR dan Presiden saja. DPD, lanjut Yuliandri, juga harus dilibatkan bukan hanya pada tahap I saja. “Agar norma UUD dapat dilaksanakan secara konsisten, keterlibatan DPD dalam rancangan undang-undang jangan hanya tahap I saja, tapi semua tahapan. Membatasi keterlibatan DPD dalam merancang undang-undang hanya sebatas pada tahap I dan tidak melibatkan DPD dalam pengambilan keputusan bertentangan dengan UUD 1945. UU tersebut semestinya memosisikan DPD setara dengan DPR dan Presiden terkait menyertai DPD dalam merancang, dan menyetujui rancangan undang-undang setara dengan DPD dan Presiden,” paparnya.
Dalam pokok permohonan Nomor 92/PUU-X/2012, DPD dalam perkara ini secara simbolis diwakili Ketua DPD Irman Gusman, Wakil Ketua DPD La Ode Ida, dan Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengujikan pasal-pasal yang ada dalam UU MD3 dan UU P3 ke MK. Diantaranya, Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5) dalam UU MD3 No. 27/2009 terhadap UUD 1945. Kemudian, DPD juga mengujikan Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2) dan (4), Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, Pasal 68 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, dan ayat (3), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 No. 12/2011 terhadap UUD 1945.
Pemohon menganggap keberadaan Pemohon sebagai lembaga negara sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK. Namun, kesejajaran dalam struktur ketatanegaraan tersebut tidak diimbangi dengan kejajaran fungsi dan kewenangan. Di samping itu, secara kelembagaan, kedudukan Pemohon hanya disetarakan dengan alat perlengkapan DPR yang fungsinya sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang. Hal demikian ini tentu tidak sesuai dengan jiwa dan semangat dari perubahan UUD 1945 yang bermaksud untuk menciptakan proses checks and balances dalam pembentukan undang-undang melalui sistem bikameral. (Lulu Anjarsari/mh)