Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Rabu (31/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang diregistrasi oleh Kepaniteraan MK dengan Nomor 98/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Boyamin dan Supriyadi selaku anggota Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Dalam sidang perbaikan permohonan, Boyamin sebagai Pemohon melakukan perbaikan permohonan, di antaranya memperbaiki kedudukan hukum (legal standing). Pemohon mengubah permohonan yang semula dengan kedudukan hukum sebagai perseorangan warga negara menjadi lembaga swadaya masyarakat. “Legal standing Pemohon perseorangan karena terkait putusan praperadilan atas nama LSM, termasuk juga permohonan ini atas nama LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia. Kami akan kesulitan jika menggunakan legal standing sebagai warga negara. Jadi kami memperbaiki permohonan ini memakai legal standing LSM sebagai badan hukum privat dan kami sudah melampirkan akte pendirian, lampiran AD/ART dan lainnya,” jelas Boyamin.
Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dengan didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Muhammad Alim mengesahkan alat bukti yang disampaikan oleh Pemohon. “Saudara mengajukan bukti P1-P16 dan disahkan. Saudara Pemohon sidang pendahuluan ini selesai, nanti akan dibawa ke rapat permusyawaratan hakim untuk diputuskan apa sidang ini akan diteruskan ke pleno untuk mendengar keterangan saksi dan pemerintah atau Mahkamah akan langsung memutus perkara ini. Saudara tinggal menunggu pemanggilan dari Mahkamah,” jelas Hamdan.
Para Pemohon perkara No. 98/PUU-X/2012 ini memohonkan pengujian Pasal 79 UU tersebut. Menurut Pemohon, berlakunya pasal tersebut, telah merugikan hak-hak konstitusionalnya. Sebab, para Pemohon telah berkali-kali mengajukan praperadilan atas perkara-perkara korupsi sebagai pihak ketiga yang berkepentingan sebagaimana dituangkan dalam undang-undang. Namun, pengajuan tersebut tidak diterima dengan alasan bukan pihak ketiga yang berkepentingan. Di lain pihak, hak gugatnya selaku pihak ketiga yang berkepentingan belum diatur dalam undang-undang, serta terdapat ketentuan yang membatasi ruang gerak para Pemohon untuk turut serta melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi serta penegakan hukum. Oleh karena itu, kata Para Pemohon, yang menjadi batu uji dalam permohonan ini adalah Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)