Sidang lanjutan pengujian UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum terhadap UUD 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (30/10). Perkara dengan Nomor 88/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), yang diwakili oleh Dominggus Maurits Luitnan, Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, TB. Mansyur Abubakar, Malkam Bouw, Paulus Pase, L. A. Lada, Metiawati, A. Yetty Lentari, serta Shinta Marghiyana.
Dalam sidang tersebut hadir Pihak Terkait dari BKBH Universitas Muhammadiyah Malang dan BKBH Universitas Stikubank Semarang. Halim B perwakilan dari Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia yang juga selaku Pihak Terkait, menyebutkan dalil pemohon yang menyatakan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon multitafsir dan tidak ada kepastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28J UUD 1945, merupakan dalil yang tidak beralasan dan berkorelasi sama sekali. “Hal ini dikarenakan UU a quo telah memberikan definisi yang jelas. Rumusan ketentuan Pasal 1 UU a quo mencerminkan asas, maksud serta tujuan diberlakukannnya UU secara umum yang dijadikan dasar acuan pasal acuan lainnya dalam UU a quo. Selain itu UU a quo sudah mengakomodir kebutuhan para pencari bantuan hukum hingga ke pelosok daerah dan tidak mampu. Maka permohonan Pemohon tanpa dasar dan tidak relevansi serta UU a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945,” paparnya.
Halim melanjutkan kewajiban bagi para advokat untuk menyampaikan bantuan hukum sebagai bentuk kewajiban profesi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 83/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dan diberikan secara cuma-cuma. Akan tetapi, lanjut Halim, hal tersebut belum berjalan dengan baik, sama seperti peraturan induknya, yakni UU No. 18/2003 tentang Advokat. “UU Advokat juga belum menaungi hal tersebut, karena belum terbentuk organisasi advokat sebagai satu-satunya wadah profesi advokat sebagaimana diatur UU Advokat sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan antar organisasi advokat yang berimbas pada kegagalan organisasi advokat untuk meningkatkan SDM advokat sebagai organisasi yang mulia, yaitu memberi penjelasan mengenai bantuan hukum kepada para pencari keadilan. Hal ini tidak hanya mengacu pada profit keuntungan saja. Selain itu, organisasi advokat yang ada hanya berada pada daerah-daerah ibukota provinsi belum menjangkau sampai ke daerah” urai Halim.
Sementara itu, Ikhwan Fachrozi selaku perwakilan BKBH Universitas Muhammadiyah Malang mengungkapkan kedudukan hukum Pemohon kabur karena tidak jelas Pemohon mengajukan permohonan sebagai advokat dari lembaga advokat atau advokat dari Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). “Selain itu, Pemohon juga dalam kedudukan hukumnya mendalilkan sebagai advokat, padahal dalam UU No. 18/2003 tentang Advokat sama sekali tidak menyebutkan tentang KKAI. Karena kedudukan hukum Pemohon kabur (obscuur libel), maka sudah sepantasnyalah Majelis Hakim Konstitusi menolak permohonan Pemohon,” ujarnya.
Pemohon dalam pokok permohonannya mendalilkan merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 ayat (1), (3), (5), dan (6), Pasal 4 ayat (1) dan (3), Pasal 6 ayat (2) dan (3) huruf a, b, c, d, e, Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, ayat 2 huruf a, b, c, d dan ayat (4), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 9 huruf a, b, c, d, e, f, g, Pasal 10 huruf a dan c, Pasal 11, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum terhadap UUD 1945. Menurut Pemohon, rumusan dalam pasal-pasal tersebut mengenai bantuan hukum dan pemberi bantuan hukum tersebut menimbulkan multitafsir dan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya, dan hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), serta Pasal 28J ayat (2) 1945. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Bantuan Hukum, dan dihubungkan dengan penjelasan ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU Advokat, maka hal demikian sangatlah berbeda sehingga ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Bantuan Hukum menimbulkan ketidakpastian hukum, dan sangat merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon dalam menjalankan tugas dan profesinya sebagai advokat. Selanjutnya dalam pelaksanaan dengan diberlakukan UU Bantuan Hukum, menurut para Pemohon, ternyata dosen, mahasiswa hukum, maupun LSM (lembaga swadaya masyarakat) diberikan kewenangan untuk beracara di luar dan di dalam pengadilan. Hal demikian dinilai merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon selaku advokat yang telah memenuhi syarat sesuai dengan petunjuk UU Advokat. (Lulu Anjarsari/mh)