BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Komite Pusat - Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabut Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (PT) yang dinilai inkonstitusional dan diskrimintatif.
Seluruh elemen gerakan rakyat di Indonesia juga diminta menyiapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur dunia pendidikan agar mampu memenuhi visi pendidikan yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan yang murah atau bahkan gratis, ilmiah dan bervisi kerakyatan.
"Bangun kekuatan politik alternatif dari seluruh elemen gerakan rakyat untuk menumbangkan rezim neoliberal dan menghancurkan sistem neoliberalisme di Indonesia. Kapitalisme-neoliberal terbukti telah gagal untuk mensejahterakan rakyat, dan hanya dengan sosialisme lah maka rakyat akan sejahtera,"kata Ketua Nasional KP-PRP, Anwar Ma'ruf dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Senin(29/10/2012) malam.
Sejak awal, kata Anwar semangat pembentukan UU PT ini memang dirasa sangat tidak sesuai dengan visi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Substansi UU PT tersebut lebih banyak diwarnai untuk melepaskan peran negara dari tanggung jawabnya dalam memenuhi hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara.
Selain itu, UU PT ini juga sangat diskriminatif terhadap para pekerja yang berada di wilayah pendidikan tinggi.
"Substansi dari UU PT ini sendiri sebenarnya memiliki semangat yang sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), yang telah disahkan pada tanggal 17 Desember 2008 namun dibatalkan secara hukum oleh Mahmakah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010, karena dianggap inkonstitusional dan membenarkan diskriminasi dalam dunia pendidikan," ujar Anwar.
Namun lanjut Anwar, setelah pembatalan UU BHP tersebut, Bank Dunia, pada tanggal 17 April 2010, mengeluarkan dokumen Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang berbunyi: “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), thereby making BHMN HEIs a legal subset of BHP.” Dalam dokumen tersebut diperlihatkan, bahwa masalah pendidikan di Indonesia sebagai masalah publik yang kurang mengeluarkan uang untuk pendidikan tinggi.
Hal ini berdampak pada masyarakat yang dipaksa untuk mengeluarkan uang lebih banyak untuk pendidikan tinggi kaerna dianggap sebagai barang tersier.
Untuk menjalankan amanat Bank Dunia tersebut, maka rezim neoliberal bersama dengan partai-partai politik borjuasi memunculkan Rancangan UU Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang isinya mengulang apa yang telah dibatalkan oleh MK dalam UU BHP, walaupun dalam kemasan yang berbeda. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 74 ayat 1 UU Pendidikan Tinggi yang mencantumkan ketentuan mengenai pembatasan minimal penerimaan mahasiswa miskin di perguruan tinggi sebesar 20%.
Padahal ketentuan ini telah dinyatakan diskriminatif dalam amar putusan MK mengenai pembatalan UU BHP. Ketentuan ini sangat rentan akan menjadi dalih bagi perguruan tinggi untuk lepas tangan setelah memenuhi kuota mahasiswa kurang mampu tersebut.
"UU Pendidikan Tinggi ini juga akan semakin mempersulit akses pendidikan bagi masyarakat, karena tingginya biaya pendidikan. Semangat komersialisasi pendidikan ini termaktub dalam pasal 73 tentang penerimaan mahasiswa baru yang memungkinkan bentuk penerimaan mahasiswa baru selain ketentuan nasional,"jelasnya.
Lebih jauh Anwar menambahkan, tanpa adanya UU Pendidikan Tinggi ini saja, privatisasi dan komersialisasi pendidikan sudah berjalan di Indonesia. Menurut data BPS pada tahun 2010, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia sebesar 16,35 dan angka partisipasi murni perguruan tinggi adalah 11,01.
Sementara pada tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia baru mencapai 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusian 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4%. Hal ini merupakan bukti dari berbagai masalah yang dihadapi rakyat pekerja akibat privatisasi dan komersialisasi pendidikan, seperti mahalnya biaya sekolah/kuliah, kesejahteraan tenaga/pekerja kependidikan, kurikulum pendidikan, mahalnya jalur masuk kuliah, dan lain sebagainya.
UU Pendidikan Tinggi ini juga akan berdampak pada para pekerja kependidikan yang akan mengalami diskriminasi. UU Pendidikan Tinggi ini akan melegalkan praktik-praktik multi-sistem kepegawaian yang merugikan pekerja, yang sebenarnya sudah berlangsung secara ilegal sejak zaman BHMN. Seharusnya, kalau sebuah perguruan tinggi sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), maka semua pekerja pada perguruan tinggi akan dirubah statusnya sesuai dengan UU Ketenagakerjaan, baik pekerja yang sudah PNS maupun pekerja non-PNS.
Namun yang terjadi sejak beberapa perguruan tinggi menjadi BHMN pada tahun 2000 adalah tumpang tindihnya status kepegawaian yang dialami pekerja kependidikan. Sebagian besar perguruan tinggi yang menjadi BHMN pada tahun 2000, masih saja mengangkat PNS. Hal ini berakibat hingga saat ini ada berbagai status pekerja yang dialami oleh pekerja kependidikan, seperti pekerja perguruan tinggi, PNS, dan pekerja yang tidak memiliki status apapun atau pekerja non-status.
"Status pekerja ini pada akhirnya menyebabkan diskriminasi pada karir intelektual pekerja kependidikan, seperti syarat dosen tetap non-PNS untuk menjadi profesor adalah sudah bekerja selama 10 tahun, namun syarat ini tidak berlaku bagi yang sudah berstatus PNS," ujar Anwar.