Pengkristalisasian nilai-nilai universal dan niai-nilai lokal kedalam hukum nasional, menjadi tantangan bagi para guru besar yang baru. Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD pada acara pengukuhan guru besar Universitas Jember di gedung Soetardjo Universitas Jember, Kamis (25/10).
Dalam pidatonya, Mahfud mengangkat tema "Membangun Hukum Nasional Melalui Peran Pendidikan Tinggi di Tengah Pluralitas Bangsa". Mahfud mengatakan dalam kesempatan ini, "Bahwa pembangunan hukum di Indonesia bukan soal baru. Hukum berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat, karena hukum yang tidak mengikuti perkembangan masyarakat sudah pasti tidak akan memiliki daya guna dan daya laku."
Dijelaskan oleh Mantan Menteri Pertahanan RI era Abdurrahman Wahid ini bahwa proses pembangunan hukum nasional dimulai sejak Proklamasi kemerdekaan. Sejak Proklamasi ini terjadi perubahan tatanan dari masyarakat kolonial menjadi masyarakat nasional. Hal ini menjadi kebijakan politik hukum sejak Indonesia merdeka yang berlaku hingga saat ini, dari hukum kolonial menjadi hukum nasional. Namun menurutnya, ternyata hingga saat ini 68% hukum yang berlaku adalah produk hukum peninggalan Belanda
Ada kesulitan dalam mengubah hukum kolonial menjadi hukum nasional, dimana faktor utamanya karena sulitnya perubahan itu karena penduduk Indonesia yang begitu majemuk. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sejak 1981 saja sudah direncanakan akan diubah berkali-kali, namun hal tersebut sukar dilakukan.
Kesulitan tersebut, kata Mahfud, pernah disampaikan Mantan Menteri Hukum dan HAM Muladi, yang menyatakan kesulitan memasukkan masalah santet dalam KUHAP. Secara hukum hal ini tidak masuk akal namun memang benar terjadi, sehingga perdebatan mengenai santet memakan waktu lama. "Belum lagi hal-hal lain yang saat ini juga banyak terjadi di tengah masyarakat, lalu bagaimana memasukkan hal ini dalam hukum," tanyanya. Keadaan ini kadang membuat Mahfud bertanya-tanya, "Atau jangan-jangan hukum kolonial memang juga hukum nasional?"
Lebih lanjut disampaikan Mahfud dalam pidato ilmiahnya ini, Indonesia adalah negara Pancasila, bukanlah negara agama atau pun negara sekuler. Di Indonesia, semua agama dilindungi dan negara tidak menganut suatu hukum ajaran suatu agama tertentu.
Di negara Pancasila, sambung Mahfud, semua hukum agama menjadi sumber hukum bersama dan Pancasila harus menjadi dasar dalam membuat hukum dan tujuan hukum. Kaidah yang lahir dari Pancasila harus dapat mengintegrasikan Indonesia secara ideologi maupun teori.
Berbicara tentang hukum dan pendidikan hukum, Mahfud menegaskan pendidikan hukum harus menyeimbangkan norma akademik, seperti nilai dan kurikulum, serta tradisi akademik, yaitu gila terhadap ilmu, acara pidato ilmiah dan seminar. "Kampus yang hanya terpaku pada norma akademik hanya akan menghasilkan robot-robot. Pada awal kelahiran dibentuknya fakultas hukum di Indonesia, tujuan saat itu adalah untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, dan sekarang di era reformasi, sudah menjadi tugas fakultas hukum bagaimana kita membentuk sarjana hukum yang dapat memberikan pelayanan terhadap masyarakat," jelasnya.
Kepada hadirin, Ketua Mahkamah Konstutisi mengajak untuk mengubah proses pendidikan hukum, dari sekedar transfer ilmu menjadi tranfer nilai filsafat. Tidak hanya bicara soal tafsir suatu norma atau pasal, melainkan juga bicara nilai-nilai moral yang mendasari dan terkandung didalamnya.
Selain itu, fakultas hukum seharusnya tidak terlalu banyak bicara demokrasi, melainkan lebih banyak berbicara nomokrasi atau asas hukum, karena demokrasi harus dibatasi benar salahnya oleh hukum. (Ilham/mh)