Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang No. 27/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), dan Undang-Undang No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang yang beragendakan mendengar pernyataan dari DPD, Pemerintah dan DPR diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh hakim konstitusi lainnya.
Dalam pernyataannya, Ketua DPD Irman Gusman selaku Pemohon mengungkapkan bahwa UU MD3 serta UU P3 telah mengebiri wewenang yang dimiliki oleh DPD sesuai yang diatur dalam UUD 1945. Menurut Irman, kewenangan terbatas yang dimiliki oleh DPD ternyata tetap dibatasi. “Pelaksanaan wewenang masih tetap dikebiri dan dipasung secara aktual. Pengebirian wewenang DPD tersebut sudah dimulai sejak diundangkannya UU No. 22/2003 tentang UU MD3 lama dan UU No. 10/2004 (UU P3 lama), dua produk legislatif yang diundangkan bahkan sebelum anggota DPD periode tahun 2004 dilantik. Kedua UU tersebut bukanlah sebuah aspirasi daerah akibatnya banyak hal yang luput dari kondisi konstitusional. Inkonstitusionalitas itu dalam proses legislasi termandulkan. Proses pembentukan UU bahkan tidak menyentuh DPD sama sekali,” paparnya di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (23/10).
Sementara itu, DPR yang diwakili oleh Nurdiman Munir mengungkapkan keberadaan DPD untuk memperkuat ikatan-ikatan daerah dalam wadah NKRI dan mempererat kesatuan bangsa serta meningkatkan akomodasi aspirasi kepentingan daerah dalam kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah. Selain itu, DPD juga memilki peranan untuk mempercepat pembangunan dan demokrasi di daerah. “Dengan demikian keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UUD 1945 berjalan sesuai dengan keberagaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara,” jelasnya.
Selain itu, Nurdiman menjelaskan beberapa fungsi DPD yang menurutnya tidak dibatasi dengan berlakunya UU tersebut. DPD memiliki fungsi terbatas dalam bidang legislasi baik anggaran maupun peranan. Peranan DPD, lanjut Nurdiman, memiliki peranan dalam menyeimbangkan dalam sistem tata negara Indonesia. “DPD ikut membahas rancangan UU terkait dengan otonomi daerah, hubungan antar pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah serta perimbangan keuangan daerah dan memberikan pertimbangan kepada DPR atas UU APBN, ikut mengawasi pelaksanaan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah,” ujarnya.
Mengenai keterlibatan DPD dalam pembentukan UU, Nurdiman mengemukakan inti pembuatan UU sebenarnya mengenai perdebatan politik hukum dan norma. DIM yang dipersoalkan Pemohon, lanjut Nurdiman, hanya persoalan teknis dalam pembentukan UU seyogyanya perumusan UU diserahkan kepada para ahli pembuat UU karena DPR maupun DPD tidak dipersyaraktkan harus ahli perundang-undangan atau harus lulus dalam hal legal drafter. “Penyampaian dalam bentuk DIM adalah bentuk pelaksanaan bukan persoalan konstitusionalitas norma. DPR berpendapat ketentuan a quo sesuai dengan Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) , Pasal 22D ayat (2) UUD 1945,” tegasnya.
Dalam sidang tersebut, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin hadir memenuhi panggilan MK. Lukman dalam keterangannya menyebutkan kehadiran DPD harus diletakkan dalam rangka mengakomodasi tuntutan reformasi. Dalam konteks demokrasi, pembentukan DPD adalah untuk memperkokoh DPR sebagai lembaga aspirasi politik rakyat, sementara DPD sebagai lembaga penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. “Kewenangan DPD dalam legislasi limitatif sesuai yang diamanatkan dalam Pasal 22 UUD 1945. Sebagai lembaga yang mengubah dan menetapkan UUD 1945, MPR tidak dalam kapasitas memberikan pendapat dalam pengujian pasal UUD 1945,” urainya.
DPD dalam perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 92/PUU-X/2012 mengujikan pasal-pasal yang ada dalam UU MD3 dan UU P3 ke MK. Diantaranya, Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 107 ayat (1) huruf c, Pasal 143 ayat (5), Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 147 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7), Pasal 150 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 151 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 154 ayat (5) dalam UU MD3 No. 27/2009 terhadap UUD 1945. Kemudian, DPD juga mengujikan Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2) dan (4), Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, Pasal 68 ayat (3), ayat (4) huruf a, dan ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, dan ayat (3), Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 No. 12/2011 terhadap UUD 1945. DPD mendalilkan pasal-pasal tersebut telah mengebiri hak legislasi DPD. (Lulu Anjarsari/mh)