Saat ini telah terjadi reduksi atas demokrasi.Yakni bukan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, melainkan dari rakyat, oleh elit, dan untuk elit. Inilah fakta yang ada saat ini di Indonesia.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, saat menyampaikan Pidato Demokrasi “Batas Kuasa Rakyat” pada acara peluncuran buku “Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru”. Acara yang berlangsung di Ruang Dua Mutiara, J.W Marriott Hotel, Jakarta, ini digelar pada Kamis (18/10) malam. Buku ini ditulis oleh: Saiful Mujani, R. William Lidlle, dan Kuskridho Ambardi.
Dalam acara yang digelar oleh Lembaga Survei Indonesia ini, hadir beberapa cendekiawan dan pakar politik, antara lain: Taufik Abdullah, Salim Said, Mochtar Mas’oed, dan Komaruddin Hidayat. Selain itu hadir pula, Pramono Anung, Najwa Shihab, dan Burhanudin Muhtadi.
Menurut Mahfud, jika dihitung waktu keterlibatan rakyat dalam berdemokrasi, sesungguhnya rakyat hanya memiliki waktu keterlibatan kurang lebih lima menit saja. Lima menit ini, dia hitung ketika seorang rakyat, sebagai pemilih, memberikan suaranya di bilik suara. Mahfud menegaskan, hanya selama itulah keterlibatan rakyat yang sesungguhnya dalam sistem demokrasi dewasa ini. Sisanya, adalah waktu elit untuk berkuasa. “Berpesta-pora,” sindirnya. Kue kekuasaan dijadikan bancakan oleh elit. Dan seringkali, dinikmati tanpa peduli pada rakyat yang telah memilihnya.
Salah satu penyebab hal itu sampai terjadi, kata Mahfud, ialah tidak tersedianya mekanisme untuk mengontrol para elit. Meskipun ada, namun mekanisme tersebut cenderung formal dan dapat dipermainkan. Contohnya, tidak ada mekanisme untuk Presiden ataupun parlemen sebagai perwakilan rakyat untuk mendengarkan suara rakyat. “Tidak ada kewajiban hukum bahwa Presiden dan DPR harus mendengar keinginan rakyat,” ungkapnya. Akhirnya, dalam pelaksanaannya, seluruh kebijakan dan keputusan berada ditangan elit yang sedang berkuasa. Dan cenderung disalahgunakan.
Tidak main-main reduksi demokrasi yang terjadi. Mahfud berpandangan, telah terjadi jurang yang sangat jauh antara waktu keterlibatan rakyat dengan lamanya elit berkuasa. “Yang dipakai oleh elit untuk berpesta-pora ialah 41.839 jam plus 55 menit,” bebernya, setelah mengkalkulasi lamanya elit berkuasa dalam satu periode, yakni dalam kurun waktu lima tahun.
Dan lebih parah lagi, hampir semua ketentuan yang ada memiliki celah, sehingga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan atau penyelewengan. Mahfud menuturkan, di Indonesia ini kadang selalu dilematis dalam merumuskan aturan. Karena, terkadang para oknum tertentu terlalu cerdas dan kreatif untuk menyimpangi aturan. “Selalu ada saja akalnya untuk korupsi,” ungkapnya. “Baik korupsi perilaku, ataupun korupsi konvensional.” Korupsi konvensional yang dimaksud adalah korupsi yang memenuhi unsur pasal tindak pidana korupsi sebagaimana diatur oleh undang-undang.
Namun meskipun begitu, kata Mahfud, kita jangan sampai menyerah untuk tetap berdemokrasi. Sebab demokrasi, setelah disimulasikan, ternyata adalah sistem yang terbaik diantara sistem lainnya, seperti monarki atau oligarki, walaupun tentu saja masih terdapat kekurangan disana-sini. “Ini adalah pilihan final yang telah didiskuasikan lama,” paparnya.
Oleh karena itu, Mahfud berpesan, salah satu cara untuk membatasi kuasa elit, dan mengurangi bentang jarak antara kepentingan elit dengan rakyat adalah dengan menjadi pemilih cerdas. Dengan kata lain, kita mesti pintar-pintar dalam menyeleksi elit yang akan menduduki tampuk kekuasaan. “Melakukan seleksi elit dengan benar,” pesannya.
Caranya? Menurut Mahfud, ialah dengan memilih pemimpin atau elit yang responsif, objektif, kompeten, dan berani. Syarat ini, kata dia, adalah syarat kumulatif yang mesti dipenuhi oleh penguasa dalam rangka memperbesar kuasa rakyat. (Dodi/mh)