Sidang lanjutan pengujian UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum terhadap UUD 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (18/10). Perkara dengan Nomor 88/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), yang diwakili oleh Dominggus Maurits Luitnan, Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, TB. Mansyur Abubakar, Malkam Bouw, Paulus Pase, L. A. Lada, Metiawati, A. Yetty Lentari, serta Shinta Marghiyana.
Dalam sidang mendengarkan jawaban Termohon dan DPR, Nurdiman Munir justru menganggap Pemohon telah melanggar hak asasi manusia dengan mendalilkan bahwa hanya advokat saja yang berhak memberikan bantuan hukum. “Jumlah advokat tidak sebanding bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang membutuhkan bantuan hukum di setiap wilayah. Lembaga seperti Pemohon sangat penting untuk memberikan bantuan hukum terutama bagi masyarakat yang tidak mampu untuk memanfaatkan jasa advokat profesional. Justru Pemohonlah yang melanggar asasi manusia dengan mendalilkan hanya advokatlah yang dapat memberikan bantuan hukum. MK sebagai pilar utama konstitusi sudah memutuskan secara jelas dalam Putusan Nomor 006,” ujar Nurdiman di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Menurut Nudirman, aturan yang ada dalam UU tersebut bersifat lex specialis, tidak membatasi hanya pada advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat, tetapi juga pada dosen dan mahasiswa yang memiliki kemampuan hukum serta LBH. Mengenai aturan pemberian bantuan hukum, Nurdiman menjelaskan bahwa hal itu untuk menjaga tertibnya pelaksanaan bantuan hukum yang dilakukan oleh negara.”Hak bantuan hukum diatur dalam secara universal yang merupakan hak yang tidak dapat ditangguhkan. Definisi bantuan hukum sudah diatur dalam ketentuan dalam Pasal 1 UU No. 16 Tahun 2011. Pada prinsipnya setiap orang dapat memberikan bantuan hukum jika memiliki kemampuan di bidang hukum, tetapi untuk tertibnya pelaksanaan bantuan hukum yang dilakukan oleh negara perlu diatur dalam UU a quo,” paparnya.
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Mualimin Abdi memaparkan adanya pasal-pasal tersebut untuk menjamin pertanggungjawaban pelaksanaan bantuan hukum dari dana negara (APBN. “Seperti diketahui, setiap dana yang digunakan dari APBN harus ada pertanggungjawabannya serta memiliki standar output yang jelas,” urainya.
Pemohon dalam pokok permohonannya mendalilkan merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 ayat (1), (3), (5), dan (6), Pasal 4 ayat (1) dan (3), Pasal 6 ayat (2) dan (3) huruf a, b, c, d, e, Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, ayat 2 huruf a, b, c, d dan ayat (4), Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 9 huruf a, b, c, d, e, f, g, Pasal 10 huruf a dan c, Pasal 11, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum terhadap UUD 1945. Menurut Pemohon, rumusan dalam pasal-pasal tersebut mengenai bantuan hukum dan pemberi bantuan hukum tersebut menimbulkan multitafsir dan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya, dan hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), serta Pasal 28J ayat (2) 1945. (Lulu Anjarsari)