Beragam pertanyaan terlontar dari beberapa mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, pada acara kunjungan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (18/10) siang. Misalnya, ada mahasiswa yang menanyakan seputar eksekusi hukuman mati, serta ada juga yang menanyakan masalah Pemilukada. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang menerima kunjungan tersebut, menjawab pertanyaan demi pertanyaan.
“Mengenai eksekusi hukuman mati, apakah Indonesia setuju dengan hukuman mati atau tidak? Terjadi pro-kontra soal eksekusi hukuman mati di Indonesia. Sebagian mengatakan, hak untuk hidup dari napi adalah hal yang mutlak, sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Tapi sebagian lagi mengatakan, kalau kejahatan napi sudah tidak manusiawi lagi, kenapa dia tidak dihukum mati lagi?” kata Maria menjawab pertanyaan seorang mahasiswa.
Perdebatan tersebut diakhiri dengan putusan MK beberapa tahun lalu, yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Terkait eksekusi hukuman mati, menurut Maria, ada syarat-syarat tertentu untuk eksekusi hukuman mati, ada prosedural dan jalurnya, termasuk juga soal banding dan kasasi dari terpidana mati, dan lain-lain.
Pertanyaan lainnya dari mahasiwa UKI adalah mengenai perolehan suara Pemilukada. “Kalau dalam Pemilukada ada salah satu pasangan calon yang meraih suara 30 persen lebih, maka pasangan itu boleh dilantik jadi kepala daerah. Berbeda dengan di Jakarta, seorang calon kepala daerah boleh dilantik kalau meraih suara 50 persen lebih,” jelas Maria.
Dalam kesempatan itu, Maria juga menjelaskan sejarah lahirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003, termasuk kekuasaan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sedangkan wewenang MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutuskan perselisihan hasil Pemilu, memutuskan sengketa antara lembaga negara, membubarkan partai politik.
“Selain itu MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan sebagainya,” ungkap Maria.
Maria juga menyinggung soal persyaratan menjadi hakim konstitusi, seperti tercantum dalam Pasal 15 UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Hakim konstitusi juga harus bisa bersikap adil dalam membuat putusan. Hal lainnya, Maria menerangkan mengenai proses pengujian UU di MK, termasuk proses berperkara di MK.
Lebih lanjut Maria menjabarkan pengertian sidang pemeriksaan pendahuluan MK, yang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang hakim konstitusi, dihadiri para Pemohon disertai kuasa hukumnya atau hanya kuasa hukumnya saja.
Pada pemeriksaan pendahuluan diperiksa kelengkapan syarat-syarat permohonan dan kejelasan materi permohonan. Dalam pemeriksaan pendahuluan, hakim wajib memberi nasehat terkait kelengkapan syarat-syarat permohonan serta perbaikan materi permohonan. Misalnya, melihat dari cara penulisan pasal, pembentukan perumusan pasal-pasalnya tidak jelas, dan sebagainya.
Setelah sidang pemeriksaan pendahuluan, lanjut Maria, dilanjutkan sidang pembuktian para pihak. Di antaranya, menghadirkan Pihak Terkait maupun Pihak Termohon untuk memberikan jawaban terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon. Beberapa hari kemudian, setelah melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), MK melakukan sidang pembacaan putusan. Hasil putusan MK memiliki beberapa alternatif, di antaranya permohonan dikabulkan, ditolak, atau tidak dapat diterima. (Nano Tresna Arfana/mh)