Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan PUU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman - Perkara No. 99/PUU-X/2012 - pada Rabu (17/10) siang di Ruang Sidang MK. Para Pemohon antara lain terdiri atas Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API) dan Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa). Mereka didampingi kuasa hukum, antara Ecoline Situmorang, S.H. dkk.
Pemohon berdalih, Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, dan c UU Sistem Budidaya Tanaman telah mengakibatkan pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan perencanaan, penetapan wilayah, dan pengaturan produksi. “Jika dihubungkan dengan Pasal 6 ayat (2) UU a quo, apa yang menjadi wewenang pemerintah tersebut menjadi kewajiban bagi petani. Hal ini mengakibatkan petani tidak bisa berkreasi dalam budidaya tanaman berdasarkan kebutuhannya,” jelas Pemohon kepada Majelis Hakim yang diketuai Hakim M. Alim serta didampingi Hakim Maria Farida Indrati dan Hakim Anwar Usman.
Dikatakan Pemohon lagi, Pasal 5 ayat (1) huruf a, b, dan c jika dihubungkan dengan Pasal 6 ayat (2) UU Sistem Budidaya Tanaman mengakibatkan pertentangan antara kewenangan pemerintah dengan hak petani, bahwa hak petani harus tunduk kepada perencanaan pemerintah, sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum antara hak dan kewajiban petani. “Jaminan kepastian hukum yang adil merupakan hak konstitusional, sebagaimana telah diatur pada Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’,”ungkap Pemohon.
Selain itu, lanjut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) huruf d UU Sistem Budidaya Tanaman bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28F, Pasal 28I Ayat (2) serta Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, yang terjadi selama ini petani tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan, pengembangan, pengaturan produksi dan penetapan wilayah. “Yang ada hanyalah forum sosialisasi yang berisi himbauan pemerintah, petani yang tidak menjalankan himbauan pemerintah tersebut dapat dikriminalisasi, didiskriminasi dan diintimidasi,” ujar Pemohon.
Pemohon melanjutkan, selama ini penelitian yang dibiayai negara dan penguasaha, tidak didasarkan pada kebutuhan petani dan tidak melibatkan petani secara aktif serta ketangguhan ekosistem. “Pemerintah hanya mengejar kepentingan produksi yang tinggi, sehingga mengabaikan tujuan-tujuan lain di bidang kelestarian lingkungan, ketangguhan ekosistem dan kesejahteraan petani,” tegas Pemohon.
Pemohon mencontohkan kasus di Indramayu, seorang petani bernama Pak Karsiah pernah mendapat intimidasi dari aparat dinas pertanian setempat karena mempertahankan benih lokal dan melakukan persilangan tanaman. Menurut Pemohon, hal tersebut bertentangan dengan program pemerintah yang mengharuskan penggunaan benih bersertifikat atau benih yang diproduksi perusahaan benih. (Nano Tresna Arfana/mh)