[MALANG] Korupsi selain sebagai perilaku yang menyimpang juga kejahatan pidana luar biasa. Untuk memberantasnya diperlukan kerja sama seluruh elemen masyarakat.
Korupsi di Indonesia tidak mungkin dapat disikat habis, karena masih lemahnya infrastruktur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibanding dengan aparat penegak hukum lainnya.
KPK hanya terdiri dari 700 orang dengan tenaga penyidik 185 orang. Sedangkan laporan terjadinya tindak pidana korupsi yang masuk ke meja KPK rata-rata ada sekitar 50 kasus per hari.
“Melihat persentasi jumlah personel KPK dan jumlah kasus korupsi yang terjadi, maka hampir dipastikan KPK akan tertatih-tatih atau tidak dapat maksimal dalam mengemban tugas memberantas korupsi di negeri ini,” kataKetua KPK Abraham Samad ketika tampil bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pada acara dialog bertajuk “Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan Problematika Penegakkan Konstitusi” di Pesma Al Hikam, Kota Malang, Kamis (11/10).
Dalam dialog nasional yang dibuka Pengasuh Pesma Al Hikam, Dr KH Ahmad Hasyim Muzadi yang mantan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU itu, dihadiri ratusan peserta, di antaranya puluhan ulama khos, di antaranya KH Mas Subadar, KH Anwar Iskandar, KH Abdul Muchit Muzadi, KH Ali Mashyuri, KH Miftahul Achyar dan seluruh pimpinan PCNU se Jatim dan PWNU Jatim.
Lebih lanjut Abraham Samad mengungkapkan, bahwa korupsi di Indonesia sudah berevolusi dari cara-cara yang sangat sederhana, konservatif, orthodox, menjadi sistematis, canggih atau extra ordinary crime. Penyidik sangat sulit menemukan bukti-bukti korupsi yang sudah tersistem. Sebab itu, KPK butuh tenaga profesional, mumpuni, bersih serta tahan terhadap segala godaan.
Menurut Samad, untuk mengidentifikasi terjadinya tindak pidana korupsi, petugas KPK wajib mengenali penyebab-penyebabnya. Ada banyak penyebab terjadinya korupsi, mulai dari bentuk sederhana yang terjadi hampir setiap saat di sektor-sektor pelayanan publik di tengah-tengah masyarakat, seperti pungli pengurusan KTP, SIM, segala macam perizinan, perpajakan dan seterusnya.
Korupsi yang berkembang semakin sistematis dan canggih misalnya money laundry, dan white collar crime lainnya. Korupsi di Indonesia begitu masif dan sulit diberantas. Ini karena sifat permisif dari warga masyarakat itu sendiri. "Kita skeptis,apatis terhadap perilaku-perilaku korup yang terjadi di sekitar kita," katanya.
Karenanya korupsi kemudian seolah merupakan tindakan yang biasa dan bersifat umum, karena hampir semua orang melakukannya. Hampir tidak ada tempat-tempat kosong yang luput dari kejahatan korupsi. Tempat-tempat yang tadinya imun terhadap korupsi, misalnmya di lembaga agama dan keagamaan, malah tidak imun lagi dan sangat mungkin menjadi sarang korupsi.
“Sikap masyarakat yang permisif, skeptis, dan apatis terhadap korupsi itu menjadi faktor utama, karena masyarakat sudah merasakannya bahwa korupsi di negeri ini memiliki benang merah dengan proses penegakkan hukum (law enforcement) yang tidak berjalan sebagaimana mestinya,” tegas Samad.
Penegakkan hukum itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena institusi penegakkan hukum di Indonesia sudah terjangkiti virus-virus korupsi yang disebut mafia peradilan (judicial corruptions).
“Kita lihat misalnya, bahwa keadilan di negeri kita, bisa diperjualbelikan. Orang yang bersalah, korupsi puluhan hingga ratusan miliar, bisa bebas di pengadilan. Begitu pula sebaliknya, banyak orang yang tidak bersalah atau kalaupun bersalah itu sangat ringan, malah bisa dihukum oleh pengadilan satu hingga dua tahun. Oleh sebab itu, kasus-kasus korupsi di Indonesia akan sangat mungkin terus berkembang selama keadilan masih bisa diperdagangkan,” tegas Abraham Samad.
Ia mengingatkan, efek jera dari penghukuman itu sendiri menjadi mandul karena para koruptor hanya dihukum sangat ringan. “Saya menyebutnya, fungsi efek jera yang seharusnya dijatuhkan melalui vonis pengadilan itu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga kasus-kasus korupsi menjadi imun terhadap penegakkan hukum itu sendiri, utamanya kasus korupsi bernilai puluhan hingga ratusan miliar terlebih lagi yang triliunan,” tegasnya.
Orang menjadi tidak surut melakukan korupsi karena penegakkan hukum tidak berjalan.Sanksi yang ringan mendorong orang-orang yang berjiwa korup menjadi tidak takut, sebab setelah menjalani hukuman ringan dan atau divonis bebas, sehingga mereka masih dapat menikmati kemewahan dari hasil korupsinya.
Kalau pun telanjur dihukum karena menjadi sorotan tajam masyarakat luas, maka terpidana koruptor bisa membeli berbagai fasilitas untuk menyulap kamar tahanan menjadi kamar bak hotel berbintang.
“Yang lebih konyol, banyak narapidana koruptor yang hanya siang hari berada di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan, namun menjelang magrib justru sudah pindah ke rumah mewahnya. Baru menjelang paginya, mereka kembali lagi untuk mengikuti apel rutin,” ujar Abraham Samad.
Karenanya, KPK berkewajiban untuk meluruskan kembali penegakkan hukum di Indonesia, termasuk ngototnya KPK mengusulkan pembangunan rumah tahanan (Rutan) sendiri agar dapat memberikan efek jera bagi koruptor.
Di sini, kata Samad, sistem penegakkan hukum yang buruk yang dibangun di Indonesia justru melahirkan para koruptor besar. Ia menunjuk banyak perilaku korup yang dilakukan bupati, wali kota dan gubernur dengan hidup serba mewah, hedonisme dengan mengambil berbagai fasilitas berlebihan.
Padahal dana itu diperoleh dari pungutan dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Sebesar 78 persen dana APBN kita diperoleh dari pungutan pajak.
Korupsi, disebutkan Samad berdampak melahirkan kemiskinan, melahirkan pengangguran, menaikkan hutang luar negeri semakin membengkak karena APBN dan APBD mengalami kebocoran-kebocortan yang sangat deras.
“Banyak pemimpin kita yang tidak mampu menjadi suri tauladan yang baik bagi rakyatnya, karena tolok ukur keberhasilan hidupnya diukur dari seberapa besar kekayaan (material finansial) yang ditimbunnya,” tandas Samad.
Seharusnya, pemimpin berani berkorban untuk rakyat, bukan mengkorup sumbangan rakyat lewat pungutan pajak.
Saling Sandera
Sementara itu, Mahfud MD menggarisbawahi praktek-praktek mafia peradilan yang masih terus bergentayangan di negeri ini, kendati sudah mulai ditangani KPK.
Korupsi menurut dia dapat dikelompokkan dalam korupsi perilaku dan moral. Selama ini KPK sangat mewarnai dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika ada pihak yang merasa terancam dan berusaha melemahkan KPK, kata dia, sesuatu yang wajar.
“Upaya-upaya semacam itu harus dicegah. Kita semua wajib mendukung langkah-langkah KPK, agar pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan sesuai dengan yang diharapkan,” katanya.
Ia kemudian menyinggung kasus Gayus si PNS Kantor Pajak, golongan III-A yang memiliki harta ratusan miliar. Selama tiga bulan tahanan, justru 64 hari berada di luar penjara. Tidak hanya pulang ke rumah, tetapi malah satu kali nonton kejuaraan tennis di Bali dan tiga kali bepergian keluar negeri. “Ini tidak mungkin kalau tidak ada kerja sama dengan banyak oknum,” kata Mahfud.
Oknum jaksanya jelas terlibat dengan mengatur pasal penggelapan pajak ratusan miliar diubah menjadi pemalsuan dokumen yang notabene ancaman hukumannya jauh lebih ringan. Yang menyuruh merubah pasal pelanggaran korupsi menjadi pemalsuan dokumen melalui tangan oknum pengacara Gayus.
“Dalam kasus Gayus Tambunan itu, mulai oknum polisi, jaksa, pengacara hingga oknum hakimnya, semuanya brengsek. Mereka terbukti makan uang suap,” katanya.
Kalau saudara-saudara nanti mendengar langsung dari Ketua KPK tentang kasus pengadaan simulator SIM, kasus Hambalang, kasus Waode Nurhayati sampai yang lain-lainnya, benar-benar itu permainan (korupsi) gila-gilaan.
“Makanya saya bilang, sekarang ini mereka yang melakukan korupsi secara masif, kemudian saling menyandera. Sebab kalau ada anggota DPR atau pejabat tertentu diperiksa KPK, maka orang lain menjadi ketakutan karena akan menyangkut mereka juga. Makanya mereka yang telanjur terperiksa, mengancam akan membongkar jika tidak dilindungi,” tandas Mahfud.
Menyinggung soal ‘perseteruan’ antara KPK dengan Polri, Mahfud menilai langkah yang dilakukan Presiden SBY sudah tepat. “Polri sudah menyatakan akan menyerahkan kasus simulator SIM itu e KPK. Kita tunggu saja,” katanya sambil membenarkan, ia menyarankan agar dilakukan dulu pilihan penyelesaian administrasinya agar prosesnya lancar.
Sebab, tersangka yang sudah disidik Polri dan disidik KPK sekarang ditahan Polri. Sehingga, tinggal menunggu kesepakatan apakah penahanan itu dianggap satu paket dengan (proses penanangan penyidik) yang baru.
“Kalau tentang Kompol Novel Baswedan, sebaiknya dibentuk tim independen guna benar-benar memberikan rasa adil di mata masyarakat luas,” ujar Mahfud MD sambil membenarkan, baik Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Polri, dan KPK tidak perlu membentuk tim sendiri-sendiri.
KH Ahmad Hasyim Muzadi pada kesempatan itu mengungkapkan, bahwa sebelumnya saat ia menjabat Ketua Umum PBNU bersama Pimpinan Muhammadiyah Buya Syafii Maarif pernah mencanangkan gerakan pemberantasan korupsi.
Harapannya dalam dimensi kekuasaan dan kemasyarakatan harus bersatu memberantas korupsi. “Kini harapan ini berada di pundak KPK. Harapannya secara bertahap bisa menjadi trigger gerakan semesta dalam memberantas korupsi. Sehingga 10-20 tahun lagi bangsa ini bisa seperti negara lain dalam upaya memberantas korupsi,” katanya.