Diskriminasi profesi yang dialami oleh para mahasiswa lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan (LPTK) karena berlakunya Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Perkara dengan Nomor 95/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh mahasiswa LPTK, yakni Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M. Khoirur Rosyid, dan Siswanto.
Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Soleh, Para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan “Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat” . Menurut pemohon, Profesi guru merupakan bidang khusus oleh karenanya dibutuhkan keahlian khusus dan hal tersebut tidak mungkin didapatkan di perkuliahan non LPTK.
“Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tidak memberikan perlindungan serta kepastian hukum kepada Para Pemohon, dengan tidak adanya jaminan bagi semua lulusan LPTK sebagai satu-satunya sarjana yang bisa masuk dalam Pendidikan profesi guru, maka menurut Para Pemohon hal ini melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Soleh.
Selain itu, Soleh melanjutkan Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, hal tersebut dikarenakan seharusnya mahasiswa LPTK dijamin bisa menjadi seorang guru asalkan dia bisa lolos mengikuti PPG, sama halnya dengan mahasiswa fakultas kedokteran dijamin bisa menjadi dokter. Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum serta bersifat diskriminatif terhadap Para Pemohon.
“Seharusnya tidak mudah untuk menjadi seorang guru apalagi secara instan. Mahasiswa LPTK memang dicetak untuk menjadi seorang guru, tidak hanya diajari keilmuan khusus di bidang program studinya, tetapi juga diajari ilmu-ilmu yang baik, dan mata pelajaran ini tidak diajarkan di LPTK. Ketika hal ini terjadi, mahasiswa LPTK tidak merasa terancam, melainkan merasakan persaingan yang tidak fair,” jelasnya.
Menanggapi permohonan Pemohon, Ketua Majelis Hakim Muhammad Alim serta Anggota Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Harjono memberikan saran perbaikan. Fadlil mengungkapkan dalil permohonan Pemohon merupakan kasus konkret, padahal MK tidak menguji kasus konkret. “Coba, letak, apa diskriminasinya? Sepertinya ingin menujukkan ada peristiwa konkret yang tidak fair dalam soal kompetisi dalam memperoleh pekerjaan antara lulusan LPTK dengan lulusan yang non-LPTK. Tidak seperti itu perkara pengujian undang-undang itu,” ujar Fadlil.
Sementara, Harjono mengungkapkan agar Pemohon memperjelas mengenai arti kata “professional” dalam pasal a quo. “Profesional itu apa? Profesional itu gelar sarjananya itu sebagai profesi atau profesional itu pendidik dan nonpendidiknya? Kalau sarjana hukum profesionalnya hukum. Sekarang yang dimaksud profesional di sini siapa? Profesional dia sebagai tenaga pendidik atau profesional dia sebagai bukan tenaga pendidik? Kalau ini melalui pendidikan profesi, ya kalau sarjana hukum, katakan saja, padahal di sarjana hukum ini banyak profesi. Ada jaksa, ada notaris, dari sarjana hukum saja ndak bisa. Harus melalui pendidikan profesi. Tapi kalau yang dimaksud profesi adalah profesi mengajar dan tidak, sarjana hukum saja tidak memiliki, tapi yang dulu IKIP itu langsung sebagai profesi pendidikan. Jadi masalahnya adalah masalah persoalan bagaimana menafsir? Oleh karena itu, saya tidak punya penjelasannya, kalau penjelasannya cukup jelas itu menjadi persoalan. Tapi kalau penjelasanya itu kemudian bisa menjelaskan apa yang saya maksud tadi, maka persoalannya adalah persoalan praktik,” katanya. (Lulu Anjarsari/mh)