(Jakarta) - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Komite Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) atas pengajuan Pasal 18 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 4 Undang-Undang no 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Hal itu disampaikan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang pembacaan putusan atas permohonan tafsir tunggal atas dua pasal tersebut dalam Undang-Undang no 32 tahun 2002. MK yang dalam sidang siang ini (3/10) dipimpin oleh Ketuanya, MahfudzMD, berpendapat, pembatasan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU 32/2002 dan pemaknaannya dalam Peraturan Pemerintah telah sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi. Kalau pun dalam tataran praktik terjadi penyimpangan, maka hal itu adalah persoalan implementasi norma yang bukan masalah konstitusionalitas.
Demikian juga atas pasal 34 ayat 4 undang-undang penyiaran, pemohon (KIDP) meminta dimaknai menjadi: “Izin penyelenggaran Penyiaran dilarang dipindahtangankan dengan cara diberikan, dijual, dialihkan kepada perorangan atau badan hukum yang berbentuk Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang memiliki Izin Penyelenggaran Penyiaran (IPP) juga badan hukum apapun, di tingkat manapun”. Pendapat MK, tafsiran seperti ini tidak perlu karena ketentuan dalam pasal dimaksud beserta penjelasannyasecara tegas melarang pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran kepada pihak lain, tanpa menyebutkan dan memungkinkan adanya pengecualian atau penafsiran lain. Walaupun demikian, MK perlu mengingatkan bahwa dalam implementasi norma-norma UU 32/2002 terutama terkait pemindahtanganan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), Pemerintah bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus secara konsisten menegakkan dan melaksanakan segala syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tersebut, dengan tujuan semata-mata untuk mencegah terjadinya monopoli informasi dalam penyelenggaraan penyiaran.
Dalam sidang dengan majelis hakim Moh. Mahfud MD, Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, dan Anwar Usman ini, terdapat pendapat berbeda dari hakim Achmad Sodiki dan Harjono. Menurut keduanya, seharusnya permohonan pemohon dapat diterima. Menurut Harjono, undang-undang mencegah monopoli penggunaan spektrum frekuensi radio dengan cara pembatasan pemusatan kepemilikan dan penguasaan LPS jelas bertujuan supaya tidak terjadi monopoli terhadap spektrum frekuensi radio yang harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Dijelaskan Harjono, kedua pasal UU Penyiaran di atas yang bermaksud membatasi pemusatan kepemilikan dan penguasaan LPS oleh satu orang atau satu badan hukum memang tidak menetapkan berapa banyak LPS yang dapat dimiliki oleh satu orang atau satu badan hukum, karena menyangkut penghitungan teknis memang dapat diatur dalam peraturan pelaksanaannya. Namun demikian, sebagai perintah undang-undang, yaitu perlu adanya pembatasan dan terlebih lebih lagi pembatasan tersebut diperlukan untuk melaksanakan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka mutlak perlu diatur pembatasan pemusatan kepemilikan dan penguasaan LPS oleh satu orang atau satu badan hukum dalam peraturan pelaksanaannya. Apabila ternyata pembuat peraturan pelaksana tidak mengatur pembatasan kepemilikan baik oleh satu orang atau satu badan hukum, maka pembuat peraturan pelaksana telah salah memaknai perintah UU Penyiaran.
MK sendiri meskipun menolak pemberian tafsir tunggal sebagaimana yang diminta KIDP, tetap dipersyaratkan bahwa Pemerintah wajib untuk membatasi kepemilikan seseorang dalam LPS maupun badan hukum pemilik LPS untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran atas pembatasan kepemilikan perorangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran.
Sementara itu dari KIDP sendiri mengaku kecewa atas keputusan Mahkamah Konstitusi hari ini. Menurut Umar Idris, dari KIDP, MK tidak berani memberi terobosan hukum seperti yang selama ini diharapkan. Ini dapat dilihat dari penafsiran MK yang hanya menggunakan Peraturan Pemerintah, padahal KIDP selaku pemohon meminta MK menafsirkan pasal-pasal dimaksud dengan Undang-Undang Dasar.
Selain itu, masih menurut Umar, MK juga tidak memiliki sikap tegas.”Seakan MK tidak memperhatikan kenyataan yang ada di lapangan tentang adanya pemindahtanganan izin dan pemusatan kepemilikan, hingga MK hanya menggunakan hukum yang normatif”, tegasnya. Bagi KIDP sendiri, keputusan MK hari ini akan memperkuat langkah mereka dalam mengawal revisi Undang-Undang Penyiaran agar lebih tegas dan mencerminkan keberpihakan pada publik.
Sedangkan menurut Idy Muzayyad, komisioner KPI Pusat, dirinya menghormati keputusan MK ini. DI matanya, sekalipun menolak permohonan dari KIDP, MK secara tegas meminta pemerintah untuk melakukan penelusuran lebih rinci atas jual beli saham kepemilikan dari badan usaha yang memiliki izin siaran baik secara langsung ataupun tidak langsung. Idy yang hadir dalam pembacaan keputusan MK ini, menilai MK telah memberikan mandat pada KPI dan pemerintah untuk mengawal pembatasan kepemilikan izin penyiaran. Semangat pembatasan ini yang harus disadari juga oleh pemerintah, sehingga adanya keberagaman isi dan kepemilikan dapat mewujud dalam demokratisasi siaran.