Pembatasan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penyiaran dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimuat dalam Putusan No. 78/PUU-IX/2011, yang dibacakan oleh sembilan Hakim Konstitusi pada Rabu (3/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
Mahkamah menyatakan, dalil-dalil para Pemohon dalam perkara ini tidak beralasan hukum. “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan amar putusan.
Menurut Mahkamah, semua syarat dan pembatasan tersebut telah memenuhi amanat konstitusi untuk melakukan pembatasan atau penguasaan atas frekuensi radio sebagai sumber daya alam yang terbatas. Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait, Mahkamah berpandangan, tidak menemukan adanya multitafsir norma yang menimbulkan ketidakpastian hukum pengaturan pembatasan kepemilikan dan penguasaan frekuensi radio.
Meskipun begitu, Mahkamah menegaskan, tidak menutup mata atas kemungkinan terjadinya perpindahan penguasaan LPS tanpa melalui pengalihan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), karena beralihnya kepemilikan dan penguasaan LPS dapat juga terjadi melalui berpindahnya kepemilikan. “Dalam kasus yang demikian, menurut Mahkamah pengalihan saham perseroan yang demikian dapat dibenarkan sepanjang tidak melebihi batas kepemilikan dan penguasaan LPS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tulis Mahkamah dalam putusan setebal 718 halaman.
Pengalihan saham seperti itu, kata Mahkamah, tidak menyebabkan beralih atau berpindahtangannya IPP. Karena IPP tetap dimiliki oleh badan hukum LPS yang bersangkutan. Dalam rezim hukum perseroan terbatas, terdapat pemisahan secara tegas antara kekayaan badan hukum dengan kekayaan pemegang sahamnya. Hal ini berarti, IPP yang dimiliki oleh LPS merupakan kekayaan/aset dari badan hukum lembaga penyiaran tersebut dan tidak melekat pada pemegang saham.
Oleh karena itu, tidak dapat ditafsirkan bahwa dengan terjadinya perubahan pemegang saham, maka telah terjadi pula pemindahtanganan IPP. “Dalam hal ini posisi dan peran regulator menjadi sangat penting untuk mengawasi terjadinya pelanggaran atas pembatasan kepemilikan dan penguasaan LPS. Pelanggaran aturan dalam praktik adalah persoalan implementasi norma yang bukan masalah konstitusionalitas,” tegas Mahkamah.
Disamping itu, Mahkamah mengingatkan, penguasaan IPP yang terpusat pada suatu badan hukum atau perorangan harus dihindari. “Karena hal ini dapat menimbulkan terjadinya monopoli informasi dan berpotensi menciptakan pengendalian opini publik oleh pihak tertentu.”
Mahkamah berpendapat, UU Penyiaran telah memberikan pintu bagi masyarakat untuk mengajukan keberatan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) apabila ada program siaran yang dianggap merugikan masyarakat/individu. “Ketentuan mengenai substansi program termasuk komposisi program yang harus dipatuhi oleh LPS untuk menjamin adanya keragaman materi penyiaran (diversity of content) serta kewenangan KPI untuk mengawasi serta menegakkan ketentuan-ketentuan tersebut telah jelas diatur baik dalam UU 32/2002 maupun dalam PP 50/2005,” ungkap Mahkamah.
Sebelumnya, para pemohon yang terdiri dari: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Media Link, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), serta Yayasan Dua Puluh Delapan (Y28) menguji Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Pendapat Berbeda
Dalam putusan ini, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion), oleh dua Hakim Konstitusi. Mereka adalah Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dan Hakim Konstitusi Harjono.
Sodiki, dalam dissenting-nya, berpendapat, Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang menyatakan “Izin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain” harus dibaca senafas dengan Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran. Artinya, pemindahtanganan tersebut tidak merupakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan LPS oleh satu orang atau satu badan hukum baik secara terang-terangan maupun terselubung, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran yang mengarah pada pemusatan dan kepemilikan yang bersifat monopolitis, karena bertentangan dengan konstitusi.
Menurut Sodiki, penyiaran dapat menjadi kancah atau ajang perebutan sumberdaya ekonomi di ruang publik. Tidak mengherankan bahwa ruang publik ini menjadi komoditas yang menggiurkan. Hal ini akan dapat menggeser proses-proses demokratisasi yang jujur (substantif). Di mana, informasi ditentukan besaran kapital yang dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum tertentu sebab sungguh tidak fair dan demokratis, ungkap Sodiki, jika akses ke media didominasi oleh mereka yang kuat secara ekonomi saja.
“Oleh sebab itu, Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran dapat dimaknai sebagai proses atau hasil monopoli seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Jikalaupun ada batas yang ditentukan pada pasal tersebut harus dimaknai sepanjang batas itu dapat mencegah monopoli,” kata Sodiki
Adapun Harjono, menyatakan, pada prinsipnya dia sama dengan pandangan Mahkamah yang menyatakan bahwa melarang terjadinya pemusatan kepemilikan dan penguasaan oleh satu orang dalam pemanfaatan spektrum frekuensi radio supaya dapat tercipta keadilan substantif untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat dan terlaksananya perekonomian nasional secara demokratis. Namun, menurut dia, semestinya Mahkamah memberikan putusan konstitusional bersyarat.
“Seharusnya Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai bahwa kepemilikan perorangan baik kepemilikan langsung terhadap saham Lembaga Penyiaran Swasta maupun kepemilikan tidak langsung yaitu melalui kepemilikan saham badan hukum pemilik Lembaga Penyiaran Swasta harus dibatasi, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran,” tutur Harjono. Menurutnya, amar seperti ini mempunyai kadar normatif yang lebih kuat. (Dodi/mh)