JAKARTA, (PRLM).- Merasa pemimpinnya dijegal menjadi calon presiden (capres), Partai Gerindra akan mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yang akan diuji adalah Pasal 9 yang mensyaratkan pasangan capres-cawapres hanya bisa diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah secara nasional. Pendaftaran uji materiil UU Pilpres ini akan dilakukan hari ini, Senin (1/10) pukul 11.00 WIB di Gedung Mahkamah Konstitusi di Jln. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Demikian siaran pers yang diterima “PRLM”, di Jakarta, Minggu (30/9). Para pemohon dalam uji materiil tersebut adalah Habiburokhman, Adhe Dwi Kurnia, M. Said Bakhri, Munathsir Mustaman. Semua pemohon berprofesi sebagai pengacara yang juga merupakan pengurus DPP Gerindra. Namun mereka menyebutkan, permohonan uji materiil tersebut diajukan dalam kapasitas pribadi, yang merupakan pendukung pimpinan Gerindra, Prabowo Subianto sebagai Capres 2014-2019.
"Kami melihat adanya upaya untuk menjegal pencapresan pimimpin kami Prabowo Subianto atau capres alternatif lainnya pada Pemilu 2014 yang akan datang. Upaya tersebut nampak dari keengganan beberapa partai di DPR yang merevisi Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008. Penjegalan terhadap Prabowo Subianto dan capres alternatif lainnya merupakan sikap anti demokrasi dan anti perubahan yang sangat mirip dengan sikap pemerintah era orde baru,” kata Habiburokhman yang biasa disapa Habib ini.
Ketentuan dalam pasal 9 menurut UU Nomor 42 Tahun 2008 mereka jelas bertentangan dengan pasal 6 (a) ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Karena itu, mereka berharap agar MK dapat mengabulkan permohonan tersebut agar Pemilu 2014 dapat terlaksana secara demokratis dan berkualitas.
Menurut mereka, sesuai dengan bunyi UUD 1945 tersebut, capres dan cawapres diusulkan oleh partai politik (parpol) peserta pemilu tanpa pembatasan berapa persen kursi partai tersebut di parlemen atau berapa persen suara sah partai tersebut secara nasional. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 dianggap sebagai pintu masuk lahirnya kartel politik, yaitu kelompok partai politik tertentu yang menguasai politik kekuasan secara bersama atau bergiliran.
Menurut Habiburokhman, kartel politik merupakan bentuk kolusi antar elite politik yang akan meminimkan kekuatan oposisi serta melindungi para elite tersebut dari mekanisme akuntalibitas. “Kami sangat khawatir jika ketentuan Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 tidak diubah, maka rakyat tidak akan mempunyai cukup pilihan untuk menentukan siapa yang layak menjadi Presiden pada Pemilu 2014 yang akan datang. Kondisi tersebut bisa memicu keresahan sosial karena aspirasi rakyat untuk mewujudkan perubahan pengelolaan negara tidak dapat disalurkan secara demokratis melalui Pemilu,” kata Habib.
Menurut Habib, dengan Presidential Treshold (PT) 20 persen, politik di Indonesia hanya akan dikuasai oleh pemimpin yang itu-itu saja, dari partai yang itu-itu saja dan bahkan dari keluarga yang itu-itu saja. Padahal sebagai negara besar dan majemuk, maka rakyat harus diberi kesempatan untuk memiliki banyak pilihan dalam menentukan pemimpin. PT 20 persen adalah bentuk pengkhiatan terhadap semangat reformasi 1998.
Habib menyebutkan, parpol besar seperti Golkar, PD, dan PDIP yang mengisyaratkan menolak merevisi UU Pilpres adalah parpol yang menghalangi lahirnya pemimpin alternatif. Memang sempat beredar isu gencar bahwa penolakan revisi UU Pilpres untuk menjegal salah satu capres, termasuk Prabowo Subianto.
Habib menuduh, mereka yang menolak mendukung perubahan PT 20 persen adalah orang-orang atau partai politik yang berpola pikir sama dengan pemerintahan Orde Baru. “Semua tentu ingat bagaimana Orde Baru bisa melanggengkan kekuasaannya hingga lebih 30 tahun dengan cara membuat peraturan perundang-undangan politik yang menghambat hadirnya pemimpin alternatif," tegasya.
Beberapa ahli hukum tata negara, seperti Saldi Isra, Endra Wijaya, Yusril Ihza Mahendra dan Margarito Khamis diharapkan dapat memberikan keterangan di hadapan persidangan MK.