Bertujuan untuk mempelajari sistem Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hakim Agung Jepang Takehiko Otani datang mengunjungi MK pada Kamis (27/9). Kunjungan Otani yang didampingi oleh Ketua Pengadilan Tinggi Osaka Mitsuyasu Matsukawa tersebut diterima oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki bersama dua hakim konstitusi, yakni Maria Farida Indrati dan Anwar Usman.
“Kunjungan hakim agung Jepang merupakan yang pertama dalam 30 tahun terakhir. Kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berkunjung ke Indonesia sangat langka. Jepang tidak memiliki Mahkamah Konstitusi, tapi Mahkamah Agung. Ada pendapat perlu adanya MK di Jepang, tetapi belum ada langkah untuk mewujudkannya. Dalam kesempatan ini, kami ingin mempelajari sistem yang ada di MK RI,” jelas Otani membuka percakapan.
Menanggapi hal tersebut, Sodiki menjelaskan MKRI merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi kehakiman di Indonesia selain Mahkamah Agung. MKRI, lanjut Sodiki, juga merupakan hasil dari reformasi terhadap UUD 1945. “MKRI mempunyai wewenang memutus pengujian undang-undang terhadap unPUU terhadap UUD, menyelesaikan sengketa antar lembaga negara, memutus pembubaran parpol, menyelesaikan pemilu, memberikan pendapat apabila presiden melakukan kejahatan. Kami sudah menyelesaikan 1.300-an perkara sampai pada tahun 2012,” paparnya.
Otani takjub dengan jumlah yang dijelaskan Sodiki. Ia pun menuturkan berarti per tahun MKRI berhasil menyelesaikan 100 perkara. “Tugas MKRI ternyata sangat berat dan telah bekerja keras. Apakah semua perkara yang masuk dihadiri oleh sembilan hakim MK?” Tanya Otani.
Menurut Sodiki, pada sidang panel, biasanya hakim konstitusi dibagi menjadi tiga hakim, kemudian setelah panel baru dihadiri sembilan hakim konstitusi. “Sembilan hakim dibagi menjadi tiga pada sidang panel, tetapi kalau sudah panel, akan dibawa ke Rapat permusyawaratan Hakim (RPH) yang dihadiri oleh seluruh hakim. Dan setiap putusan melibatkan seluruh hakim,” ujarnya.
Diskusi pun berlanjut dengan pembicaraan mengenai seleksi hakim, Sodiki menjelaskan di MK RI, hakim diusulkan oleh DPR, MA dan Presiden. “Di Indonesia, dibentuk panitia seleksi yang terdiri dari guru besar hingga akademisi. Pemilihan pun berlangsung terbuka. Masyarakat luas pun boleh member kritikan. Sementara dari DPR diusulkan dari Komisi Yudisial dan disampaikan ke DPR lalu dipilih jadi tiga,” urainya.
Berbeda dengan di Jepang, Otani menjelaskan hakim agung di Jepang terdiri dari 15 orang. Persyaratan penting adalah harus berpengalaman 20 tahun dan dipilih dari kalangan hakim, advokat, dan akademisi. “Wewenang dari kabinet. Kabinet sendiri tidak memiliki informasi mengenai hakim. Biasanya Ketua MA yang mengusulkan hakim agung dan kabinet menghormati usulan ketua MA. Usulan ini belum pernah ditolak oleh kabinet. Ini menimbulkan kritik karena tidak ada transparansi,’ tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)