Konstitusi Indonesia telah mengatur secara jelas tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengakibatkan negara berkewajiban menyediakan apapun untuk warga negaranya termasuk perlindungan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, seluruh masyarakat Indonesia berhak mendapatkan hidup yang layak, sehingga negara wajib untuk membangun sarana dan prasana.
Demikian kata Maria Farida Indrati selaku Hakim Konstitusi dihadapan puluhan perwakilan dari 10 Kementerian/Lembaga Negara dalam acara Training of Traner (ToT) bertema “Upaya Merawat dan Pemenuhan Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara” di Hotel Acacia, Jakarta, Kamis (27/9).
“Konstitusi telah mengatur hak setiap warga negara, maka negara wajib menyediakan (hak hidup semua warga negara),” tegas Maria Farida dalam acara yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) ini.
Lebih lanjut, Maria Farida kembali menegaskan, hak asasi manusia yang tercantum dalam konstitusi sudah tidak ada masalah lagi. Sebab, konstitusi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak mengatakan perbedaan hak asasi antara laki-laki dan perempuan, namun hanya mengatakan setiap manusia dan warga negara. “Jadi Perkembangan konstitusi jauh lebih menerima hak-hak itu (antara laki-laki dan perempuan),” terangnya.
Tetapi, kata Guru Besar bidang Ilmu Perundang-Undangan Universitas Indonesia ini, Konstitusi hanya mengatur ketentuan yang bersifat umum. Walhasil, semua yang terkandung didalamnya akan diatur dalam aturan-aturan yang berada di bawahnya, yakni mulai dari undang-undang hingga peraturan pada tingkatan paling bawah.
Disisi lain, Maria Farida juga mengatakan bahwa sesungguhnya membuat aturan-aturan yang serupa dengan undang-undang tidaklah sulit, asalkan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. “Saya mengatakan membuat aturan-aturan tersebut tidak sulit, tetapi kalau kita membuat aturan tersebut tidak masuk dalam norma-norma yang sudah ada,” terangnya.
Norma-norma tersebut meliputi agama, moral, dan adat. Oleh karena itu, Maria Farida melanjutkan, apabila dalam membuat aturan sudah menyangkut persoalan yang ada dalam tiga norma tersebut, maka pembuatan aturang atau undang-undang juga tidak akan mudah dilakukan. “Sehingga membuat aturan terkait tiga norma ini memang tidak mudah,” jelasnya. Maka dalam UU Perkawinan, kata dia, dikatakan sah apabila perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, serta diikuti dengan pencatatan dalam buku negara.
Disamping itu, Maria Farida juga menjelaskan terkait dengan dasar pembentukan UUD 1945. Menurutnya, pembentukan UUD 1945 yang dilakukan sudah sesuai dengan dasar-dasar yang jelas, dan tidak dibentuk secara asal-asalan. “Bagi saya, kalau kita membuat undang-undang atau konstitusi, kita boleh melihat undang-undang yang ada, kita boleh melihat undang-undang Amerika, Belanda yang baik. Tapi begitu kita satukan dalam konstitusi harus bisa mengalir dan menjadi baik (bagi masyarakat Indonesia),” urainya.
Memasuki sesi tanya-jawab, para peserta yang didominasi dengan kaum hawa tersebut terlihat antusias untuk bertanya kepada hakim konstitusi perempuan pertama di Indonesia ini. Hampir semua peserta mengacungkan tangan, baik hanya sekedar bercerita maupun menyampaikan berbagai macam pertayaan yang mereka alami di lingkungan Kementerian/Lembaga Negara yang mereka tempati bekerja. (Shohibul Umam/mh)