Mahkamah Konstitusi tidak semata-mata berpatokan kepada kepastian hukum saja, melainkan juga kemanfaatan dan keadilan hukum. “MK berupaya menegakkan keadilan substantif,” tegas Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki dalam Orasi Ilmiahnya yang disampaikan pada Kamis (27/9), dalam Sidang Terbuka Senat Universitas, Senat Sekolah Tinggi, dan Senat Akademi-Akademi Jayabaya, Dies Natalis Ke-54 serta Wisuda Program Diploma Tiga, Sarjana Strata Satu, Sarjana Strata Dua, dan Sarjana Strata Tiga Universitas Jayabaya Tahun Akademi 2011/2012.
Dalam menjatuhkan putusan, kata Sodiki, MK mempertimbangkan berbagai aspek. Di samping aspek yuridis, MK juga mengkaji aspek filosofis dan sosiologis.
Bahkan seringkali, lanjut dia, MK melakukan terobosan-terobosan hukum. Salah satunya, dalam menangani perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Dalam perkembangannya, MK juga mempertimbangkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama proses Pemilukada dalam menjatuhkan putusan. Jadi, tak hanya berkutat pada perselisihan hasil penghitungan jumlah suara saja.
Selain itu, dalam uji konstitusionalitas sebuah undang-undang, MK juga telah memberikan beberapa tafsir. Diantaranya terkait lingkungan dan penguasaan negara atas kekayaan alam. Pada intinya, ujar dia, MK sangat mempertimbangkan peranan negara dalam menguasai kekayaan alam yang terkandung di setiap jengkal tanah di Indonesia. “Demi kepentingan rakyat yang sesungguhnya,” tegasnya.
Di samping itu, Sodiki mengingatkan, tanggungjawab menjaga lingkungan bukan pada negara saja namun pada segenap rakyat Indonesia. Terutama bagi kita yang hidup di masa sekarang. Menurutnya, dalam menggunakan sumber daya alam, harus pula memikirkan kelestarian lingkungan bagi generasi akan datang. “Harus tercipta pemahaman publik tentang lingkungan demi generasi ke depan,” pesannya.
Tak hanya itu, menurutnya, MK juga menghormati pluralitas hukum yang hidup dan berlaku di masyarakat. Dia mengungkapkan, terkadang ada sistem yang berlaku disuatu masyarakat bertentangan dengan ketentuan hukum formal, misalnya penggunaan sistem noken untuk memilih kepala daerah di wilayah Papua. Di mana, sistem tersebut melanggar salah satu asas dalam pemilu, yakni asas rahasia. Sistem noken sendiri, pada intinya adalah pemilihan kepala daerah dengan melalui kesepakatan bersama masyarakat setempat dan diwakilkan kepada kepala suku. (Dodi/mh)