Lanjutan sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik juncto UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) kembali digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa (25/9). Gerakan Nasional Pemberantasan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) tercatat sebagai Pemohon perkara yang tergistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 72/PUU-X/2012 ini.
Dalam sidang beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli Pemohon tersebut, Pemohon menghadirkan dua orang ahli, yakni Pakar Hukum Tata Negara Harun Al Rasyid serta Irman Putra Sidin. Irman dalam keterangannya mengungkapkan keberadaan fraksi yang lahir atas kebutuhan politik tidak serta-merta dapat ‘mendelegasikan’ kedaulatan milik rakyat ke ‘tangan’ anggota parlemen. Hal ini, menurut Irman, justru akan membuat rakyat merasa kedaulatannya ‘terkangkangi’. “Keberadaan fraksi tidak diatur dalam UUD, namun jika basis keberadaan fraksi ini adalah atas kebutuhan politik, maka masyarakat bisa jadi akan merasa terkangkangi kedaulatannya. Bisa jadi pula masyarakat akan merasa keberadaan fraksi justru menghambat haknya untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya untuk mencapai tujuan negara. Kedaulatan rakyat tidak pernah terdelegasikan kepada anggota parlemen yang dipilihnya selama lima tahun, apalagi parpol asal anggota parlemen tersebut. Daulat tetap di tangan rakyat yang tidak terserahkan atau terdelagasikan fungsi parlemen hanyalah instrumen perwakilan yang tidak lain sebagai institusi yang bekerja dari dan untuk rakyat,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Menanggapi pertanyaan Mahfud, bagaimana mengatasi persoalan banyaknya anggota DPR yang melakukan ‘kesalahan’ padahal fraksi masih ada, apalagi jika anggota parlemen bekerja secara individual, Irman pun menambahkan adanya fraksi justru menjadi ‘jembatan masuk’ persoalan dari tubuh parpol ke lembaga parlemen. “Wadah atau fraksi sebenarnya tidak masalah, jika ke depannya diatur dalam UU Parpol. Jangan menginvasi ataupun mencengkeram lembaga parlemen. Jangan sampai ternyata yang memegang kekuasaan adalah sembilan naga atau sembilan kekuatan di balik parpol ini. Sementara 560 orang ini jika dipikir untuk apa rakyat Indonesia memilih sampai sebanyak itu, jika keadaannya seperti itu. Kenapa tidak sekalian saja kita pilih parpol saja? Kalau persoalan perilaku, saya kira ada instrument sendiri dalam tubuh dewan, misalnya badan kehormatan. Tetapi kualitas anggota parlemen tetap menjadi tanggung jawab parpol,” paparnya.
Dalam sidang tersebut, hadir pula saksi Anggota DPR dari Fraksi PKB Effendie Choirie dan Lily Wahid. Choirie mengungkapkan bahwa fraksi hanyalah perpanjangantangan parpol, tetapi fraksi periode reformasi pertama dan kedua dengan periode 2009 agak berbeda. “Karena periode kemarin, DPR dipilih oleh rakyat atas suara terbanyak, bukan atas dasar sepenuhnya nomor urut, maka eksistensi DPR harus lebih memperhatikan substansi kepentingan rakyat ketimbang kepentingan partai yang sering terdistorsi oleh kelompok pimpinan partai atau mungkin bahasa lain, kepentingan oligarki pimpinan partai tersebut. Yang lebih menonjol dan dipaksakan atau pemaksaannya sering berbeda dengan kepentingan rakyat yang seharusnya ditampilkan dan diperjuangkan oleh anggota DPR. Oleh karena itu, eksistensi fraksi menjadi tidak relevan lagi ketika mereka sudah dominan untuk mengebiri atau terlalu memaksakan kehendaknya kepada anggotanya. Padahal seharusnya anggotanya lebih memperjuangkan kepentingan rakyat,” jelas Choirie.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, M. Arifsyah Matondang, mengujikan Pasal 12 UU Parpol dan Pasal 11, Pasal 80, Pasal 301, Pasal 352 UU MD3 yang dianggap telah melanggar hak konstitusional Pemohon. Berdasarkan AD/ART Partai dapat dilihat bahwa keberadaan fraksi-fraksi pada MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah bagian struktur kepengurusan partai politik, diangkat, dipilih, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada partai politiknya dan fraksi juga merupakan kepanjangan tangan dari Partai politik yang membentuknya atau bukan merupakan bagian atau bagan/alat perlengkapan dari MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, lanjut Arifsyah, keberadaan Fraks-fraksi baik di MPR RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang merupakan bagian struktur kepengurusan partai politik ternyata dibiayaai oleh APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, sehingga penggunaan uang negara bukan untuk kegiatan lembaga negara tetapi untuk kegiatan partai politik dan hal tersebut merupakan bentuk pemborosan uang negara. “Fraksi-fraksi di MPR, DPR, DPD Prov/Kab/Kota bertentangan dengan 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18 ayat (3) Pasal 19, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 23F, Pasal 24C ayat (2), Pasal 37 ayat (1) UUD 1945. Adanya fraksi terjadi pemborosan keuangan negara Rp 27 Triliun,” ujar Arifsyah. (Lulu Anjarsari/mh)