Mahkamah Konstitusi dimohonkan oleh Pemohon untuk menyelidiki dan menilai substansi, isi, atau materi muatan pasal dan ayat yang terkandung dalam Undang-Undang (UU) Bantuan Hukum. Sebab, menurut para Pemohon No. 88/PUU-X/2012 ini, pasal-pasal yang termuat dalam UU Bantuan Hukum tersebut sangat merugikan mereka dalam menjalankan tugas dan dan profesi sebagai advokat.
“Diberlakukan UU Bantuan Hukum sangat merugikan para Pemohon dalam menjalankan tugas dan profesinya sebagai advokat,” urai Dominggus Maurits Luitnan selaku salah satu Pemohon, yang hadir dalam Sidang Pendahuluan pada Jumat (21/9), di Ruang Sidang Panel, Gedung MK tersebut.
Tak tanggung-tanggung, pasal-pasal penting yang termuat dalam UU Bantuan Hukum tersebut hampir seluruhnya dimohonkan oleh para Pemohon. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 1 ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 6 ayat (2) dan (3) huruf a, huruf b, Pasal 7, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) huruf a, huruf b, Pasal 9, Pasal 10 huruf a dan huruf c, Pasal 11, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 UU No. 16 Tahun 2011.
Kemudian para Pemohon yang terdiri atas Dominggus Maurits Luitnan, Suhardi Somomoelyono, Abdurahman Tardjo, TB. Mansyur Abubakar, Paulus Pase, Metiawati, A. Yetty Lentari. Shinta Marghiyana, masing-masing berprofesi sebagai advokat, menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D Ayat (1), dan Ayat (2).
Menurut para Pemohon, ketentuan rumusan “bantuan hukum” dan “pemberi bantuan hukum” yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UU tersebut memang sudah cukup jelas, namun ketentuan tersebut menimbulkan multitafsir dan menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya. “Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dengan melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” terang Dominggus.
Terlebih lagi, kata para Pemohon, jika memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Bantuan Hukum, dan dihubungkan dengan penjelasan ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU Advokat, maka hal demikian sangatlah berbeda. “Sehingga ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Bantuan Hukum menimbulkan ketidakpastian hukum, dan sangat merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon dalam menjalankan tugas dan profesinya sebagai advokat,” terang Pemohon.
Disisi lain, ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU Bantuan Hukum yang berbunyi, “Standar Bantuan Hukum adalah pedoman pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum yang ditetapkan oleh Menteri” kata para Pemohon selaku advokat, menimbulkan ketidakjelasan dalam memberi jaminan dan perlindungan hukum yang adil dengan keberadaan UU Advokat.
Selanjutnya dalam pelaksanaan dengan diberlakukan UU Bantuan Hukum, menurut para Pemohon, ternyata dosen, mahasiswa hukum, maupun LSM (lembaga swadaya masyarakat) diberikan kewenangan untuk beracara di luar dan di dalam pengadilan. “Hal demikian, sangat merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon selaku advokat yang telah memenuhi syarat sesuai dengan petunjuk UU Advokat,” tutur Dominggus.
Oleh karenanya dalam petitum permohonnya, Para Pemohon memohonkan kepada Mahkamah untuk menyatakan materi muatan pasal-pasal a quo bertentengan dengan Pasal 28D Ayat (1), dan Ayat (2) UUD 1945, dan menyatakan pasal-pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam kesempatan tersebut disampaikan juga nasihat-nasihat dari Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Anwar Usman, didampingi Hamdan Zoelva dan Achmad Sodiki, masing-masing sebagai anggota. “Cara penulisan pasal dan ayat itu diperhatikan, termasuk penulisan sebuah undang-undang. Itu ada kekeliruan,” terang Anwar saat memberi nasehat kepada para Pemohon. (Shohibul Umam/mh)