Permohonan yang diajukan oleh Mantan Kepala Dusun Klompang Agus Yahya ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Amar putusan dengan Nomor 28/PUU-X/2012 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya pada Rabu (19/9) di Ruang Sidang Pleno MK. “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, MK pernah memutus pengujian terhadap pasal tersebut, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-V/2007, bertanggal 14 Januari 2008 dengan amar Putusan “Menyatakan permohonan Pemohon ditolak”. Dengan demikian, maka Pemohon hanya dapat mengajukan pengujian terhadap pasal tersebut sepanjang materi UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda dengan Putusan Mahkamah sebelumnya, atau dengan alasan syarat konstitusional yang berbeda. Oleh karena itu, untuk dalil permohonan Pemohon yang memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA terhadap Pasal 1, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, maka pertimbangan dan pendapat Mahkamah pada Putusan Nomor 23/PUUV/2007 tanggal 14 Januari 2008 tersebut secara mutatis mutandis berlaku pada putusan ini.
“Adapun mengenai pengujian norma a quo terhadap Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, menurut Mahkamah substansi Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 mengatur mengenai kewajiban pemerintah untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 mengatur mengenai kewajiban pemerintah untuk penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Menurut Mahkamah, negara telah menjalankan kewajibannya memberikan perlakuan yang adil dan memenuhi hak-hak konstitusional warga negara berdasarkan ketentuan pasal tersebut. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, maka dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 45A ayat (2) huruf c UU MA tidak beralasan menurut hukum,” papar Anwar.
Kemudian, Anwar melanjutkan Pasal 30 ayat (2) UU 16/2004 pada pokoknya memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk mewakili negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha negara. Oleh karena itu, lanjut Anwar, ketentuan norma tersebut yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk menjadi kuasa negara atau pemerintah dalam perkara perdata atau tata usaha negara sangat berkaitan dengan posisi lembaga kejaksaan yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, sehingga wajar apabila lembaga kejaksaan menjalankan fungsi penegakan hukum dan sekaligus membela kepentingan negara atau pemerintah di pengadilan untuk perkara perdata dan tata usaha negara. Adanya konflik kepentingan yang menurut Pemohon telah menimbulkan perlakuan diskriminatif dan ketidakpastian hukum merupakan persoalan implementasi norma, yaitu terkait dengan profesionalisme jaksa dan merupakan ranah pengendalian dan pengawasan internal di lembaga kejaksaan.
“Persoalan profesionalisme jaksa dalam melaksanakan tugasnya tersebut telah diatur dalam Kode Etik Jaksa serta merupakan tugas dan wewenang Komisi Kode Etik Jaksa dan Komisi Kejaksaan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian internal terhadap profesionalisme jaksa. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, maka dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 30 ayat (2) UU 16/2004 tidak beralasan menurut hukum,” urai Anwar. (Lulu Anjarsari/mh)