Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh para Pengurus Wilayah Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (PW LPPNU) Jawa Timur dan para petani dari Garut, Jawa Barat. Amar putusan dengan nomor 24/PUU-X/2012 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya pada Selasa (18/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” jelasnya di hadapan kuasa hukum Pemohon dari
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Mahkamah berpendapat Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 36/2009 tentang Kesehahatan pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon lain terhadap Pembukaan UUD 1945, Pasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28I UUD 1945 dan telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 November 2011 dengan amar putusan, “Menyatakan Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”.
Dalam permohonan yang lain, lanjut Fadlil, telah diajukan pula permohonan pengujian materiil beberapa pasal dalam UU 36/2009, termasuk Pasal 113 ayat (2), yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Permohonan tersebut telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 November 2011 dengan amar putusan, antara lain, ‘Permohonan para Pemohon mengenai Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sepanjang frasa ‘...tembakau, produk yang mengandung tembakau,...” tidak dapat diterima’,” ujarnya.
Dalam permohonan perkara ini, Fadlil menjelaskan Para Pemohon hanya memohonkan pengujian konstitusionalitas dari Pasal 113 ayat (2) UU 36/2009 dengan dalil bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Dalam permohonan Nomor 34/PUU-VIII/2010, sebagaimana tersebut di atas, para Pemohon telah mempergunakan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai salah satu batu uji dalam pengujian konstitusionalitas permohonan mereka, sehingga pertimbangan Mahkamah dalam putusan atas permohonan tersebut mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam putusan a quo,” urainya.
Fadlil memaparkan Pembukaan UUD 1945 yang dijadikan salah satu batu uji oleh Pemohon dalam permohonan Nomor 19/PUU-VIII/2010 adalah norma fundamental negara yang menjiwai seluruh pasal-pasal dalam UUD 1945, termasuk Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, begitu pula Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Walaupun permohonan ini menjadikan Pasal 1 ayat (3) sebagai batu uji dalam pengujian pasal tersebut dan belum pernah dijadikan batu uji dalam permohonan sebelumnya, sehingga menurut Pemohon permohonannya tidak ne bis in idem karena alasan konstitusionalitas permohonannya berbeda, namun menurut Mahkamah pada hakikatnya alasan-alasan Pemohon dalam permohonan Nomor 19/PUU-VIII/2010 dan permohonan Nomor 34/PUU-VIII/2010 sama dengan alasan-alasan Para Pemohon dalam permohonan ini.
“Dengan demikian pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-VIII/2010 dan Nomor 34/PUU-VIII/2010, sepanjang mengenai pasal yang telah diuji, yaitu Pasal 113 UU 36/2009 mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam permohonan a quo dan oleh karenanya permohonan Para Pemohon harus dinyatakan ne bis in idem,” paparnya.
Dalam konklusinya, Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan ini. “Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Permohonan para Pemohon ne bis in idem,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)