Tajul Muluk, tokoh Syi’ah dari Kabupaten Sampang, Madura yang sekarang sedang ditahan karena terjerat Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pemeriksaan pertama Perkara No. 84/PUU-X/2012 ini digelar pada Jum’at (14/9) di Ruang Sidang Panel MK. Bersama Tajul, terdapat tiga Pemohon lainnya, yakni Hassan Alaydrus, Ahmad Hidayat, dan Umar Shahab.
Dalam permohonannya, para Pemohon tersebut, menguji Pasal 156a KUHP juncto Pasal 4 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Menurut para Pemohon, hak konstitusional mereka telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 156a KUHP.
Pasal yang diuji tersebut berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
“Bahwa Pemohon I (Tajul Muluk, pen) adalah korban dari penerapan dan penggunaan Pasal 156a KUHP yang memiliki multitafsir. Penerapan Pasal 156a tersebut sangatlah membingungkan bagi Pemohon I. Pasal tersebut seperti berlaku dengan tafsir sesuka hati penegak hukum. Pemohon I telah di proses dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan, dan bahkan telah diputus bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Ahmad Taufik.
Menurut Taufik, penggunaan Pasal 156a KUHP kepada Pemohon I didasarkan atas pemahaman yang salah terhadap ajaran agama Islam Mazhab Syi’ah mengenai Taqiyah. “Kesalahan pemahaman Taqiyah dalam ajaran agama Islam Mazhab Syi’ah tersebut yang kemudian digunakan untuk menerapkan Pasal 156a KUHP, sementara tidak pernah ada Surat Keputusan Bersama 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Kejaksaan Agung) yang menyatakan ajaran tersebut sesat dan menyimpang,” ujarnya. “Hal ini sangatlah merugikan dan melanggar hak-hak konstitusional Pemohon I.”
Perbedaan mazhab dalam ajaran agama Islam, kata Taufik, bukanlah hal yang baru. Namun, apabila perbedaan tersebut sampai menjadikan orang terpidana, hal tersebut jelas merupakan perilaku zalim dan keji terhadap saudara sesama muslim. Dengan adanya perkara yang menimpa Tajul, menurutnya, juga setidaknya berpotensi menimpa Para Pemohon lainnya yang sehari-harinya adalah muballig yang seringkali melakukan kajian terkait Mazhab Syi’ah.
Akhirnya, dalam petitum permohonannya, Para Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 156a KUHP bertentangan dengan Konstitusi secara bersyarat, yakni sepanjang tidak dimaknai, “harus terlebih dahulu ada perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan di dalam Suatu Keputusan Bersama 3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri)”.
Setelah mendengarkan pokok-pokok permohonan tersebut, Panel Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi Anwar Usman (Ketua Panel), Harjono, dan Maria Farida Indrati memberikan beberapa saran kepada kuasa hukum Pemohon. Menurut Harjono, Pemohon harus memperhatikan permohonan sebelumnya yang telah menguji ketentuan yang sama. Menurutnya, alasan Pemohon kali ini, harus berbeda dengan permohonan sebelumnya. Karena jika sama, akan dinyatakan ne bis in idem. Selain itu, menurutnya, permohonan Pemohon masih terlalu berkutat pada persoalan penerapan pasal yang diuji, bukan pada konstitusionalitas norma. (Dodi/mh)