Mahkamah Konstitusi (MK) menerima berkas permohonan uji materi yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terhadap UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3) pada Jumat (14/9) pagi di Ruang Aula MK.
Dalam kesempatan itu, Todung Mulya Lubis yang didampingi Wakil Ketua DPD Laode Ida dan I Wayan Sudirta Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD, menjelaskan latar belakang dilakukannya pengujian UU MD3 dan UU P3.
“Judicial review ini untuk menguji 11 pasal dalam UU MD3 dan 12 pasal dalam UU P3. Kami sudah mengajukan permohonan itu dan sudah dinyatakan lengkap oleh MK. Kami berharap agar sidang pendahuluan segera dilakukan dan kemudian akan memasuki proses sidang yang lebih substansial mengenai materi uji UU,” ucap Todung.
Todung melanjutkan, ada semacam anomali konstitusional. “Kenapa disebut anomali konstitusional? DPD adalah lembaga perwakilan, seperti halnya DPR. Baik DPD dan DPR mempunyai hak yang sama dalam ikut menentukan legislasi sejauh mandat yang diberikan oleh UUD 1945,” jelas Todung.
Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan masalah otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan maupun pemekaran pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, perimbangan keuangan pusat dan daerah, merupakan mandat konstitusional yang diberikan kepada DPD untuk ikut dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
‘Dikerdilkan’
Namun, lanjut Todung, DPD yang dalam Pasal 22 UUD 1945 dapat mengajukan kepada DPR berupa RUU, dan kemudian dapat ikut membahas RUU yang berkaitan dengan mandat yang diberikan kepada DPD, ternyata hak dan kewenangan DPD sudah ‘dikerdilkan’ oleh UUD MD3 dan UU P3.
“Mereka (DPD) hanya bisa mengajukan usul RUU yang kemudian diadoptir menjadi usulan DPR, bukan menjadi DPD. Jadi, hak inisiatif DPD sama sekali dihilangkan, “ imbuh Todung.
‘Pengkerdilan’ hak-hak DPD ini, kata Todung, merusak tatanan kenegaraan. “Kami ingin meluruskan kembali tafsir Pasal 22D Ayat (1) dan Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 yang memberikan hak dan kewenangan yang sama kepada DPD dan DPR untuk ikut merumuskan Prolegnas.
Pengujian materi UU a quo ini sangat penting untuk memperjuangkan pelaksanaan otonomi daerah yang seutuh-utuhnya, yang sejati. Kalau DPD tidak bisa optimal menggunakan hak dan kewenangan, DPD dilumpuhkan, seolah-olah tidak bisa maksimal dalam perjuangannya.
“Kita berharap, MK sebagai penafsir tunggal konstitusi bisa memulihkan kembali hak DPD sesuai yang tertulis dengan Pasal 22D UUD 1945,” tandas Todung kepada para wartawan yang hadir. (Nano Tresna Arfana/mh)