Pengujian Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang diperkarakan oleh Habiburokhman, Muhamad Maulana Bungaran, dan Munathasir Mustaman selaku para Pemohon No. 80/PUU-X/2012, dan M. Farhat Abbas selaku Pemohon No. 81/PUU-X/2012, masing-masing berprofesi sebagai Advokat memperbaiki permohonannya di Mahkamah Konstitusi, Kamis (13/9).
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati ini, Pemohon 80, Habiburokhman menguraikan perbaikannya terkait dengan sistematika aturan dalam menyusun permohonan di MK. Menurutnya, para Pemohon sudah memperbaiki permohonannya sesuai dengan arahan majelis hakim konstitusi. “(sistematika permohonan) telah diubah dari kewenangan Mahkamah sampai kedudukan hukum (legal standing) dan kepentingan konstitusional Pemohon,” urainya.
Kemudian dalam petitum No. 2, para Pemohon juga memperbaiki dan mengubahnya, “Kami ubah menjadi menyatakan Pasal 50 ayat (3) UU No. 30/2002 sepanjang frase ‘Kepolisian atau Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan”’ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai’wewenang kepolisian atau kejaksaan untuk melakukan penyidikan dalam perkara tersebut sebagaimana diatur dalam UU selain UU ini dihapuskan,” urai Habiburokhman.
Sementara perkara No. 81, Pemohon diwakili kuasa hukumnya Rakhmat Jaya juga memperbaiki permohonan. Menurutnya, ada beberapa hal yang telah diperbaiki oleh Pemohon dalam permohonan tersebut, termasuk pasal-pasal yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Selain itu, Pemohon juga memperbaiki tata cara penulisan UU sesuai dengan risalah sidang yang diterima.
Seperti diberitakan, baik Pemohon No. 80 ataupun No. 81, telah mengajukan pengujian UU No. 30/2002. Dimana Pemohon No. 81, menguji Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), yang didalamnya termuat tugas, kewenangan, dan kewajiban aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana korupsi.
Menurut salah satu Pemohon Farhat Abbas, pasal-pasal yang diujikan memuat tugas, kewenangan, dan kewajiban lembaga penegak hukum yang bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). “Norma yang terkandung (UU a quo) adalah norma yang sangat diskriminatif karena bertentangan dengan hak-hak Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum,” terang Windu Wijaya selaku kuasa hukum Pemohon kala itu.
Walhasil, norma yang diskrimnatif tersebut, kata Pemohon, menyebabkan penanganan kasus Simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) yang lagi bergulir di 2 (dua) instansi pemerintah yakni Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian tersebut, terkesan tumpang tindih. “Jika hal ini diteruskan oleh dua lembaga, maka nantinya kasus ini akan dibawa ke dua pengadilan berbeda,” ujar Pemohon. “Kalau hasilnya berbeda jauh, tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum pula,” tambah Farhat Abbas dalam permohonannya. (Shohibul Umam/mh)