Sidang Pengujian Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah - Perkara No. 73/PUU-X/2012 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (13/9) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR. Dalam kesempatan ini, pihak DPR tidak dapat hadir karena satu dan lain hal. Pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya, Pither Ponda Barany, S.H, M.H, dkk.
Pihak Pemerintah melalui Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan HAM, menjelaskan Pemerintah ingin mengingatkan kembali bahwa MK telah memberikan putusan atas perkara, pemohon dan objek permohonan yang serupa yaitu mengenai pemberhentian sementara atas Perkara No. 85/PUU-IX/2011 dengan amar putusan ‘Permohonan Pemohon Tidak Dapat Diterima’.
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali dengan alasan lain atau berbeda. Bahwa pemerintah tidak melihat adanya alasan lain atau berbeda antara permohonan dalam Perkara No. 85/PUU-IX/2011 dengan alasan yang diajukan Para Pemohon dalam permohonan a quo. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Pemerintah, permohonan Para Pemohon untuk menguji konstitusionalitas pasal-pasal a quo harus dinyatakan ne bis in idem,” ujar Mualimin.
Menurut Pemerintah lagi, pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah adalah dalam rangka menjaga wibawa hukum dan persamaan di muka hukum, sehingga aparat penegak hukum khususnya hakim tidak kesulitan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana tersebut. “Karena di satu sisi, dengan diberhentikan sementara kinerja pemerintahan daerah tidak terganggu dengan status kepala daerah sebagai tersangka atau terdakwa. Di sisi lain, hak dari kepala daerah atas asas praduga tak bersalah tetap terjamin dalam proses hukum yang berjalan. Hal tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan hak setiap orang atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak atas perlakuan yang sama di muka hukum dan kepastian hukum yang adil,” papar Mualimin.
Masih menurut Pemerintah, terkait pemberhentian sementara kepala daerah dan wakil kepala daerah, MK dalam putusannya No. 24/PUU-III/2005 tanggal 29 Maret 2006, yang disitir kembali dalam Putusan 53/PUU-VIII/2010 tanggal 6 April 2011, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, Mahkamah menyatakan dalil yang mengkualifikasikan pemberhentian sementara sama dengan hukuman dalam pengertian hukum pidana. “Yang dengan cara itu kemudian dibangun konstruksi pemikiran pemberhentian sementara bertentangan dengan asas praduga tak bersalah adalah tidak tepat,” ucap Mualimin.
Pemerintah berpendapat, pemberhentian sementara justru merealisasikan prinsip persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. “Tidaklah tepat apabila pemberhentian sementara dari jabatan bupati dikatakan bersifat diskriminatif dengan cara membandingkan dengan pejabat publik atau pihak lain dalam kualifikasi yang berbeda dan diatur oleh undang-undang yang berbeda,” kata Mualimin.
Selain itu, menurut Pemerintah, pasal tersebut juga memberikan kepastian dalam jabatannya selaku bupati. Karena adanya pemberhentian sementara tersebut, tidak ada hambatan bagi bekerjanya proses hukum atas dakwaan yang ditujukan, dikarenakan telah hilangnya kemungkinan melalui jabatannya, dapat menghalang-halangi atau menghambat proses peradilan, sehingga putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dapat lebih cepat diperoleh. “Dengan demikian menurut Pemerintah, pengaturan mengenai pemberhentian sementara kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan norma yang konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tandas Mualimin.
Sebagaimana diketahui Pasal 33 Ayat 1 UU Pemda yang diujikan Pemohon Obednego Depparinding menyebutkan: “Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 35 ayat (5) setelah melalui proses pengadilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya” (Nano Tresna Arfana/mh)