Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan uji materi UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak diterima yang disebabkan permohonan yang diajukan Suwarto kabur. Ketua MK Moh. Mahfud MD membacakan amar putusan perkara Nomor 77/PUU-IX/2012 ini dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi pada Kamis (13/9) di Ruang Sidang Pleno MK .“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Mahfud di hadapan Pemohon.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim, berdasarkan pertimbangan hukum yang dibacakan, Mahkamah menilai, dari segi formil, ada beberapa kalimat dalam permohonan Pemohon yang tidak selesai sehingga tidak dapat dipahami maksud dan tujuannya. Selanjutnya, Alim menjelaskan kebanyakan alasan Pemohon tidak berkaitan dengan kewenangan Mahkamah, dan juga tidak berhubungan dengan kedudukan hukum Pemohon. “Antara posita permohonan Pemohon tidak berkaitan dengan kewenangan Mahkamah, dan tidak berhubungan dengan kedudukan hukum Pemohon pada satu segi, dan tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan petitum permohonan pada segi lainnya. Petitum angka 2 permohonan Pemohon bukan menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, melainkan menguji Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 terhadap Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007. Antarpetitum Pemohon terdapat pertentangan antara satu dengan lainnya, sehingga menurut Mahkamah permohonan Pemohon kabur,” jelasnya
Alim memaparkan uraian yang terdapat pada angka 4 permohonan Pemohon pada pokoknya mengemukakan, “Bahwa pejuang pro terhadap kepentingan khalayak ramai selama ini terjadi secara meluas, yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sehingga pelaku korupsi digolongkan sebagai kejahatan, dijadikan alasan Pemohon untuk diuji materiil...” dan seterusnya. Dalam konteks permohonan Pemohon yang menguji konstitusionalitas Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 yakni Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubenur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak ada hubungannya dan tidak ada kaitannya dengan norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. “Selain itu, kalimat yang dimohonkan oleh Pemohon bahwa pejuang pro terhadap kepentingan khalayak ramai yang terjadi secara meluas yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi, menurut Pemohon, juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Padahal menurut Mahkamah, justru pejuang pro kepentingan khalayak ramai berlawanan dengan, antara lain, koruptor yang merugikan keuangan negara dan melanggar hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat,” urainya.
Kemudian, lanjut Alim, uraian yang terdapat pada angka 7 permohonan Pemohon adalah penilaian Pemohon atas pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang terpilih dengan suara terbanyak, sebagai figur yang jujur, bersih, transparan melayani kepentingan rakyat sebagai alasan Pemohon untuk pengujian materiil norma a quo. “Menurut Mahkamah, alasan Pemohon tersebut berkaitan dengan kasus konkret, sedangkan terhadap pengujian suatu norma yang bersifat abstrak tidak boleh berdasarkan alasan kasus konkret,” ujarnya
Dalam konklusinya, Mahfud memaparkan berdasarkan penilaian fakta dan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon a quo. “Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Permohonan Pemohon kabur,” tandasnya.
Pemilukada Putaran Kedua Konstitusional
Mahkamah dalam perkara lain, yakni perkara No. 70/PUU-X/2012 dengan Pemohon yakni Abdul Havid Permana, Muhammad Huda, dan Satrio Fauzia Damardjati menegaskan ketentuan Pemilukada putaran kedua dalam Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan mengenai “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), …” dalam Pasal 11 ayat (2) UU DKI Jakarta yang ditentukan sebagai syarat untuk diadakannya pemilihan putaran kedua, Mahkamah menemukan fakta ketentuan tersebut memang berbeda dengan ketentuan Pasal 107 UU Pemda yang mengatur kondisi/prasyarat dilaksanakannya pemilihan putaran kedua. (Lulu Anjarsari/mh)