Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan Perkara No. 59/PHPU. D-X/2012 dan menyatakan gugur Perkara No. 60/PHPU. D-X/2012, perkara PHPU Kabupaten Intan Jaya, Papua. Demikian diputuskan Mahkamah dalam sidang pembacaan putusan yang berlangsung pada Rabu (12/9) siang di Ruang Sidang Pleno MK.
Terhadap Perkara No. 59/PHPU. D-X/2012, sebelum Mahkamah memeriksa penghitungan hasil perolehan suara berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait, Mahkamah terlebih dahulu memeriksa bukti yang diajukan oleh Pemohon terutama yang relevan dengan perolehan suara masing-masing pasangan calon. Namun Mahkamah tidak menemukan bukti rekapitulasi penghitungan suara tingkat distrik pada bukti Pemohon.
Padahal Pemohon mendalilkan perolehan suara yang benar adalah yang sesuai dengan rekapitulasi tingkat distrik, Pemohon hanya mengajukan bukti perhitungan tingkat distrik yang dibuat oleh Tim Sukses Pemohon. Selain itu Pemohon juga mengajukan bukti sertifikasi hasil penghitungan suara di beberapa TPS. Bukti Formulir C-1 yang Pemohon ajukan tidak utuh dengan lampirannya, sehingga Mahkamah tidak bisa memastikan keasliannya, meskipun bukti Pemohon telah dibubuhi stempel basah PPS dan bertandatangan KPPS.
Selain itu Pemohon juga melampirkan bukti kesepakatan masyarakat kampung mengenai perolehan suara masing-masing pasangan calon yang disepakati secara adat oleh masing-masing kampung. Mahkamah sebagaimana putusan sebelumnya yaitu Putusan Mahkamah Konstiusi Nomor 47-81/PHPU.AVII/2009 tanggal 2 Juni 2009. Melalui bukti-bukti Pemohon tersebut, Mahkamah membandingkan satu dengan lainnya dan Mahkamah menemukan ada ketidaksesuaian pada beberapa bagian antara bukti yang satu dengan bukti lainnya. Oleh karena itu Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah dalam bantahannya terhadap penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon.
Terhadap hal tersebut, Mahkamah menyebutkan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, yang secara konstitusional berwenang menyelenggarakan Pemilu adalah KPU. Oleh karena itu penyelenggaraan Pemilu oleh KPU sejak perencanaan sampai hasil rekapitulasi perolehan suara yang diikuti dengan penetapan calon terpilih secara konstitusional harus dianggap benar, selama tidak dibuktikan sebaliknya dengan alat bukti yang sah menurut hukum, dan meyakinkan hakim. Karena Pemohon tidak dapat membuktikan dan tidak pula dapat meyakinkan Mahkamah dengan bukti-bukti yang diajukan, menurut Mahkamah penghitungan suara oleh Termohon harus dianggap benar.
Terhadap dalil-dalil lainnya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak dibuktikan oleh bukti yang cukup meyakinkan bahwa pelanggaran tersebut terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif, yang secara signifikan mempengaruhi perolehan suara Pemohon sehingga melampaui
perolehan suara Pihak Terkait. “Oleh karena itu, dalil Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum,” tegas Majelis Hakim.
Sementara itu, dalam waktu hampir bersamaan, MK memutuskan menyatakan gugur Perkara No. 60/PHPU. D-X/2012. Mahkamah telah memanggil para Pemohon secara sah dan patut dengan surat panggilan Panitera MK untuk menghadiri sidang pemeriksaan pendahuluan pada 30 Agustus 2012, namun para Pemohon tidak hadir. Ketidakhadiran para Pemohon tersebut tidak berdasarkan alasan yang sah menurut hukum.
Selanjutnya Mahkamah memanggil kembali para Pemohon untuk hadir dalam persidangan 3 September 2012, namun para Pemohon tidak hadir lagi tanpa alasan sah menurut hukum. Terhadap ketidakhadiran para Pemohon dalam persidangan yang tidak disertai alasan sah menurut hukum meskipun sudah dipanggil secara sah, Mahkamah berpendapat, demi peradilan yang cepat, sederhana, biaya ringan, serta demi kepastian hukum yang adil, permohonan para Pemohon harus dinyatakan gugur. (Nano Tresna Arfana/mh)