Besaran prosentase dalam Pasal 14 huruf e dan huruf f UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah tidaklah dimaksudkan oleh pembentuk UU untuk berlaku tidak adil kepada daerah penghasil, tetapi prosentase dalam pasal tersebut adalah dalam rangka untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Demikian sepenggal kutipan Putusan Nomor 71/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU terhadap UUD 1945 yang dibacakan Majelis Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi, Rabu (12/9). Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. “Menolak permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon V untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Moh. Mahfud MD, di Ruang Sidang Pleno MK. Sedangkan mengenai permohonan Pemohon VI sampai dengan Pemohon IX tidak diterima.
Permohonan perkara ini diajukan oleh Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB), Sundy Ingan, Andu, Jubaidah, Elia Yusuf, Luther Kombong, masing-masing disebut Pemohon I sampai dengan Pemohon V, Luther Kombong, Awang Ferdian Hidayat, M.H, Muslihuddin Abdurrasyid, Bambang Susilo, masing-masing disebut Pemohon VI sampai dengan Pemohon IX.
Mereka mendalilkan bahwa Pasal 14 huruf e UU 33/2004 sepanjang frasa “84,5% untuk Pemerintah dan 15,5% untuk Daerah” dan ketentuan Pasal 14 huruf f UU 33/2004 sepanjang frasa “69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk Daerah” bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1), Pasal 18A Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 33 Ayat (1), Pasal 33 Ayat (3), dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.
Namun dalam putusannya, Mahkamah menjelaskan bahwa besaran prosentase tersebut harus dipahami tidak sepenuhnya menjadi bagian dari pemerintah daerah semata-mata, karena pemerintah pusat sebagai representasi negara berkewajiban untuk membagikannya kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
Sementara pembagian yang diberikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, lanjut Mahkamah, adalah melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), serta mekanisme lainnya, dalam rangka keadilan dan pemerataan bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Selanjutnya Mahkamah berpendapat terkait Pemohon VI sampai dengan Pemohon IX, sebagai Anggota DPD yang secara kelembagaan maupun keanggotaan dalam perspektif konstitusi, antara lain, ikut membahas persoalan perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka UU ini adalah produk yang di dalamnya DPD ikut membahasnya. “Dengan demikian, Pemohon VI sampai dengan Pemohon IX tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo,” jelas Mahkamah.
Pendapat Berbeda
Hakim Konsitusi Akil Mochtar dalam putusan ini mempunyai pendapat berbeda (Dissenting Opinion). Menurutnya, pengujian pasal tersebut merupakan indikasi yang cukup akan adanya ketidakadilan dalam proses perumusan porsi pembagian dana bagi hasil maupun dalam proses distribusi dana bagi hasil. Untuk mencegah terjadinya ketidakadilan yang berlarut-larut atau sebagai upaya proses pendekatan keseimbangan reflektif (reflective equilibrium) keadilan dalam suatu sistem hubungan keuangan, kata dia, maka perlu dilakukan perubahan dari pengaturan dana bagi hasil sektor pertambangan minyak dan gas bumi. “Pembentuk Undang-Undang harus segera melakukan perubahan atas peraturan perundang-undangan terkait,” ucap Akil.
Akil berharap dalam akhir pendapatnya, perkara ini seharusnya dikabulkan. “Menurut saya, seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan distribusi pembagian dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang lebih berkeadilan dengan mengedepankan prinsip ‘adil dan selaras’,” urai Hakim Konstitusi kelahiran Provinsi Kalimatan Barat ini. (Shohibul Umam/mh)