Jakarta, Seruu.com - Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, mengatakan DPR harus menolak usulan Kementerian Dalam Negeri yang tertuang dalam draf RUU tentang Pilkada, dimana mengatur pelimpahan wewenang sengketa Pilkada dari Mahkamah Konstitusi dikembalikan ke Mahkamah Agung.
"Ada empat alasan penolakan pelimpahan kewenangan sengketa pilkada dari MK ke MA. Pertama, karena pilkada merupakan rezim pemilu, maka penyelesaian atas sengketa hasilnya mutlak menjadi otoritas MK," kata Said menanggapi usulan Kemendagri itu, di Jakarta, Rabu (12/9/2012).
Menurut dia, ketentuan ini bukan sekedar diatur oleh Undang-Undang, melainkan perintah konstitusi sebagaimana termaktub pada pasal 24C ayat (1) yang dihasilkan berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945.
"Kalau mau dialihkan ke MA, ya harus diamandemen dulu konstitusinya," katanya.
Kedua, lanjut dia, ada persoalan kepercayaan publik yang masih rendah kepada lembaga kekuasaan kehakiman MA berikut badan peradilan yang berada di bawahnya. Integritas dan kredibilitas hakim MA belum sepenuhnya dipercaya publik akibat masih ditemukannya hakim yang `masuk angin` karena terlibat kasus suap, korupsi, dan seterusnya.
Sementara, kekuasaan kehakiman dilingkungan MK sejauh ini dipandang masyarakat masih cukup kredibel, ujar Said.
Alasan ketiga, kata dia, dinamisnya politik lokal dalam pilkada berpotensi menyuburkan mafia peradilan baru didaerah. Diantaranya, karena perilaku buruk sejumlah hakim tersebut.
"Kontrol publik akan lemah. Sementara jika dilakukan di MK, banyak pihak yang bisa mengawasi proses persidangan," tuturnya.
Keempat, tambah dia, usulan itu sama saja seperti mengembalikan kasus korupsi dari KPK kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
"Ini konstruksi berpikir yang keliru. Tidak logis. Kalau pemilih sudah kehilangan kepercayaan kepada proses penyelesaian pilkada, maka besar kemungkinan antusiasme masyarakat mengikuti pemilu akan turun drastis. Saya menolak keras usulan pengembalian penyelesaian sengketa pilkada dari MK kepada MA," paparnya.
Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Girindra Sandino, mengatakan, usulan Kemendagri itu akan membawa dampak serius baik proses konsolidasi demokrasi di Indonesia yang telah dibangun maupun permasalahan konstitusional.
"Jika Mahkamah Agung (MA) dan peradilan di bawahnya menangani kasus sengketa pemilu, potensi konflik horizontal di daerah-daerah tidak tertutup kemungkinan akan meningkat. Ini akan berdampak destruktif bagi proses demokratisasi di tingkat lokal," katanya.
Jadi "public distrust" terhadap lembaga peradilan di daerah masih cukup tinggi, dan ini mungkin yang dinilai sebagian kalangan mudah di intervensi oleh kekuasaan, katanya.
Menurut Girindra, dengan dikembalikannya kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada ke MA, maka ada perubahan UU dan peraturan di bawahnya yang harus direvisi. Seperti, wewenang MK dalam mengurus sengketa Pilkada dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
Begitu juga dengan UU No 12/2008, sudah menetapkan pilkada sebagai pemilu bukan lagi pemilihan kepala daerah. Ini juga harus diubah karena akan menimbulkan persoalan konstitusional, ucapnya.
Selain itu, MK sudah teruji dan berpengalaman dalam memutuskan perkara Pilkada sejak 2008. Kapabilitas, kredibilitas dan integritas hakim MK, tidak diragukan lagi oleh publik.
"Jadi, jika terealisasi "deal" politik antara pemerintah dan DPR, harus ada jalan keluar untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Pembuat UU harus konsisten, jangan sampai rakyat lagi yang jadi korban dan menanggung beban rezim elektokrasi," kata Girindra.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri Djohermansyah Johan mengatakan, pemerintah dalam pengajuan draf RUU Pilkada mengenai penanganan sengketa pilkada yang kini ditangani MK, diusulkan untuk ditangani MA.
Dalam draf RUU Pilkada juga diatur, selain menangani dugaan politik uang, MA juga diberi kewenangan menyelesaikan keberatan atas hasil penghitungan suara. Usulan tersebut tertuang dalam RUU Pilkada Pasal 31 dan Pasal 127 yang diajukan pemerintah.
Dalam Pasal 31 Ayat (1) disebutkan, calon gubernur-calon wakil gubernur (cagub-cawagub) yang merasa dirugikan atau mempunyai bukti awal adanya dugaan politik yang terjadi sebelum, selama, dan setelah pemilihan, dapat mengajukan keberatan ke MA.