Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini rombongan mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (UNES) melakukan kunjungan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (11/9). Kunjungan dari 150 mahasiswa berjaket almamater warna kuning tersebut disambut oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. Tidak hanya itu, Fadlil di tengah-tengah kesibukannya pun menyempatkan diri menyampaikan materi seputar MK.
Dengan diselipi bahasa Jawa logat Semarang, Fadlil membuka perjumpaan itu dengan menyatakan kegembiraannya karena berjumpa dengan tetangganya sesama orang Semarang. Bahkan, Fadlil sempat berseloroh kalau ia ingin diundang berbicara ke UNES agar sekalian bisa “pulang kampung”.
Usai menyampaikan pembukaan yang hangat, Fadlil pun menyampaikan poin-poin yang hendak ia paparkan di hadapan para mahasiswa dan dosen tersebut. Poin-poin tersebut, antara lain mengenai keberadaan MK di Indonesia, sejarah terbentuknya MK di Indonesia, peran penting MK di Indonesia, dan fungsi sekaligus peran MK dalam kehidupan bernegara di Indonesia.
“Kejadian yang menghadirkan MK di Indonesia dilatarbelakangi oleh dinamika sosial politik pada dekade 90-an yang kemudian meruntuhkan perekonomian Indonesia. Pada akhirnya dinamika itu pun mampu menurunkan Presiden Soeharto saat itu. Puncaknya tahun 1998 yang didahului oleh krisis ekonomi merambah ke bidang-bidang lain atau disebut krisis multidimensional dalam kehidupan bernegara kita saat ini,” urai Fadlil.
Saat itu didapati kesimpulan bahwa UUD 1945 yang terlalu simpel, terlalu sedikit norma yang diaturnya, terlalu luas cakupannya, dan mekanismenya diserahkan kepada penyelenggara negara. Padahal, lanjut Fadlil, penyelenggara negara yang notabene manusia memiliki celah untuk berbuat korup. Celah itu akan semakin membesar ketika kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada penyelenggara itu begitu besarnya. “Maka terapinya, UUD-nya yang juga harus diubah. Terjadilah perubahan UUD 1945 pertama kali pada tahun 1999 sampai perubahan yang keempat,” jelas Fadlil.
Salah satu pasal yang ikut diubah, yaitu Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelumnya berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat”. Bunyi pasal tersebut pun diubah menjadi sebagai berikut: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar.
Perubahan bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut dengan otomatis mengubah kedudukan MPR yang semula merupakan lembaga tertinggi negara yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat menjadi lembaga tinggi negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara saja. ”Perubahan tersebut juga berimplikasi terhadap dianutnya supremasi hukum dalam sistim ketatanegaraan kita. Karena hukum tertinggi adalah konstitusi, maka konstitusilah yang menjadi the supreme of law,” tutur Fadlil menjelaskan implikasi perubahan UUD 1945 terhadap sistim ketatanegaraan Indonesia.
Selanjutnya, Fadlil menjelaskan mengenai arti penting kehadiran MK usai adanya perubahan tersebut. Karena konstitusi adalah hukum tertinggi, maka harus ada lembaga yang menegakkan konstitusi. Tidak seperti sebelum perubahan UUD 1945 yang menjadi konstitusi hukum tertinggi namun tidak ada upaya untuk menegakkannya. Untuk menegakkan konstitusi dalam kehidupan bernegara itulah kemudian dibentuk MK. “Dulu, konstitusi itu selalu ditegakkan secara politik, tidak pernah secara hukum. Maka ketika ada masalah antara satu lembaga dengan lembaga lainnya, keputusannya tergantung presiden kala itu sebagai kekuatan politik tertinggi,” papar Fadlil lagi.
Fadlil pun sempat berinteraksi dengan beberapa mahasiswa yang mengajukan pertanyaan kepadanya. Dengan lugas, Fadlil pun menjawab pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa yang dianggapnya sangat berbobot itu. Namun, karena keterbatasan waktu, Fadlil memohon maaf karena tidak bisa meladeni banyak pertanyaan lainnya yang hendak dilontarkan para mahasiswa UNES. Tidak kecewa, rombongan mahasiswa dan dosen UNES pun berkesempatan melihat-lihat ruang perpustakaan dan ruang sidang MK. (Yusti Nurul Agustin/mh)