Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang PUU Pengadaan Tanah - Perkara No. 50/PUU-X/2012 - pada Selasa (11/9) siang. Pengujian UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini dimohonkan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, di antaranya Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon.
Ahli Pemohon yang bernama I Nyoman Nurjaya, Guru Besar FH Universitas Brawijaya Malang berkesempatan memberikan pendapat mengenai tanah sebagai salah satu elemen dari sumber daya agraria dan secara filosofis menjadi sumber kehidupan manusia. “Fokusnya pada sumber daya agraria dalam arti sempit yaitu tanah di permukaan bumi,” jelasnya.
Nyoman melanjutkan, landasan konstitusional untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang mencerminkan prinsip keadilan, demokrasi dan berkelanjutan sumber daya agraria adalah alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerinrtah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”
Juga termaktub dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Nyoman menguraikan pula sejumlah prinsip yang harus diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sumber daya agraria, antara lain memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; menghormati supremasi hukum dan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi masyarakat.
Dikatakan Nyoman lagi, jika dikemas ringkas, maka prinsip-prinsip yang dimaksud di atas meliputi tiga prinsip dasar. Pertama, adalah prinsip keadilan, yang merujuk pada kebijakan pengelolaan sumber daya agraria harus direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring dan dievaluasi secara berkesinambungan untuk memenuhi keadilan antargenerasi, keadilan gender, termasuk keadilan dalam alokasi dan distribusi sumber daya agraria.
Kedua, adalah prinsip demokrasi, yang mengacu pada kebijakan pengelolaan sumber daya agraria yang mendesentralisasi kewenangan pusat ke daerah, akses informasi yang terbuka bagi rakyat, ruang bagi partisipasi semua pemangku kepentingan, transparansi dalam penyusunan kebijakan, pertanggungjawaban kepada publik, koordinasi dan keterpaduan antarsektor, penyelesaian konflik secara bijaksana, dan lainnya.
Ketiga, adalah prinsip berkelanjutan, yang merupakan kebijakan penguasaan yang harus mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya agraria dengan melakukan konservasi, pemahaman tentang makna sumber daya yang tak terbarukan, keterbatasan daya dukung dan daya tampung serta keterbatasan kemampuan sumber daya agraria.
Lebih lanjut, Nyoman mengatakan bahwa kebijakan penguasaan dan pengelolaan sumber daya agraria perlu mengintegrasikan prinsip-prinsip penting dalam pembangunan yang berkelanjutan, sebagai berikut: Prinsip Pertama, bahwa sumber daya agraria harus dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan dari generasi ke generasi.
“Prinsip kedua adalah sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan demokratis secara antargenerasi dalam kesetaraan gender. Prinsip ketiga adalah pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria harus mampu menciptakan kohesivitas sosial, mampu melindungi dan mempertahankan eksistensi budaya lokal, termasuk tatanan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,” papar Nyoman.
Selain itu, ada prinsip keempat, bahwa pengelolaan sumber daya agraria harus dilakukan dengan pendekatan ekosistem untuk mencegah terjadinya praktik-praktik pengelolaan yang bersifat parsial, ego-sektoral atau ego-daerah, tidak terpadu dan terkoordinasi. Sedangkan prinsip kelima adalah kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan sumber daya agraria harus bersifat spesifik lokal, disesuaikan dengan ekosistem daerah dan tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat.
“Kelima prinsip dasar di atas, satu sama lain saling terkait dan melengkapi, sebagai satu kesatuan yang mengandung makna bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya agraria dimaksudkan untuk mewujudkan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan sesuai amanat UUD 1945,” tandas Nyoman. (Nano Tresna Arfana/mh)